Tokoh: Ayah, Watak: penuh Kasih


Tugas Bengkel Tulisan
By: Ainul Maghfirah



Anak perempuan ini telah lahir tahunan lalu. Beningnya matanya saat ia pertamakali melihat dunia sempat memikat mata orang yang dia panggil “Ayah”. Waktu bergulir dengan beberapa celah pemisah pertemuan kedua mata itu. Si anak ke sekolah, si ayah ke sawah. Celah pemisah yang memberi perbedaan jelas tentang kewajiban dari masing-masing pemilik mata itu.
            Jika gelap telah datang, atau fajar telah menjelang, pasangan anak dan ayah itu segera membersihkan pakaiannya untuk kemudian bersama-sama mengucapkan rasa syukur atas kehidupan yang masih dirasa. Biarpun tak terdengar, namun kedua pemilik mata itu saling mengerti, bahwa mereka butuh sisa-sisa energi untuk kehidupan setelah fajar esok pagi. Bagi ayah, segarnya mata anaknya, adalah cahaya yang menggerakan energi dalam otot-ototnya yang mulai lesu. Bagi sang anak, tatapan ayahnya, adalah harapan yang mengisi energi dalam sistem syarafnya. Esok pagi, mereka kembali akan bertemu dengan celah pemisah dengan segenggam energi yang telah mereka teguk di waktu petang.
            Tak peduli seberapa besar rasa kasih yang menyelimuti mereka, kata-kata dari lisan tetap jarang terucap, bahkan untuk sekedar sapaan anakku sayang atau ayahku sayang. Seperti tuhan telah menganugerahkan mata dan hati yang teramat bijak, hanya lewat mata, hatipun jadi mengerti. Sebenarnya tidak ada yang spesial dari mata anak itu, namun dari pantulan matanya, ayah itu melihat dirinya berdiri, hidup. Yup, anak perempuan itulah yang menjadi perantara bagi dia untuk tetap hidup. Anak perempuan yang lahir sebagai ganti dari sebagian tulang rusuknya.
            Bertahun-tahun hidup seperti berpayungkan langit dan beralaskan tanah sempat memutup matanya akan dunia luar. Bagaimana tidak, untuk urusan perut saja dia harus selalu mendelik seharian, melihat setajam-tajamnya pada apa saja yang bisa menghasilkan beras 2 ons dan 1 ons garam. Kesibukannya telah menarik dia dari dunia luar, dunia orang-orang. Atau sebenarnya dialah yang terlempar dari dunia luar itu. Dunia yang menurutnya bukan tempat untuk yang berpakaian lusuh, bukan untuk yang memakai sandal jepit usang. Jika-pun memaksa untuk tetap masuk, maka siap-siaplah untuk tertusuk. Tertusuk oleh ocehan dan tatapan orang-orang yang perutnya kenyang dengan nasi dan lauk pauk tiap hari.
            Tak masalah baginya, selama ada teman untuk diajak berbicara, selama ada teman yang setia menyambutnya dengan senyuman tiap kali datang dari mengais rejeki di luar. Sampai saat ini, teman berbicara tetap ada, teman yang menyambut dengan senyuman juga masih ada, anak perempuannya. Namun kali ini sudah berbeda, sejak mata itu menatapnya, ada harapan di mata bayi perempuannya itu, harapan yang harus diwujudkan. Dan dalam mata itulah dia melihat dirinya berdiri gagah dengan bibir melengkung bulan sabit. Untuk pertama kalinya, dia merasa gagah. Gagah sebagai laki-laki yang beranak, sebagai seorang ayah.
            Sejak itu, ia tegakkan badannya, ia arahkan matanya ke seluruh penjuru, perlahan ia langkahkan kakinya sampai sekarang. Baginya setiap waktunya adalah langkah yang berarti untuk anaknya. Jika dulu ia mati bersama sinisnya dunia dengan istrinya yang tak tahu menahu dengan wajah dunia. Sekarang dia hidup layaknya manusia hidup, demi anaknya. Walau dia sebenarnya lebih menyukai hidup sebagaimana sebelumnya, namun dia tidak ingin mata bening anaknya hanya bisa melihat putihnya nasi di piring.
            Jadilah dia seorang ayah yang berazzam akan menjadi ayah terbaik untuk anak perempuannya. Dimulai dari sebelum fajar datang, ia bangunkan anaknya dengan colekan tangannya yang keras akibat tanah sawah. Membawa anaknya ke sungai belakang rumah untuk sekedar berwudhu’. Jika kaki mereka telah terangkat dari sungai, segeralah ia menyelimuti anaknya dengan sarung loreng berwarna coklat. Suhu pagi di desanya memang cukup ekstrim. Jika tak biasa, virus di hidung bisa langsung menyerang, flu. Seusai sholat shubuh, dia tengadahkan tangannya dan berdo’a “ya Allah berikanlah kesuksesan dan kebahagiaan pada anakku di dunia dan di akhirat”, dengan penuh harap dia mengamini do’anya lalu mengusap kepala anaknya dengan lembut.
            Dia memang bukan orang yang pandai dalam berbicara. Urusannya mencari sesuap nasi dan kemalasannya bertegur sapa dengan dunia luar membuat dia hanya berlatih berbicara dengan istrinya. Sejak dia menjadi seorang ayah, dia langkahkan kaki untuk bertegur sapa dengan orang yang dianggap alim di desa itu untuk sekedar bertanya cara sholat dan mu’amalah. Untuk apa? Untuk dilihat oleh anaknya. Agar anaknya melihat dia sholat 5 waktu dan berbuat baik pada tetangga.
            Hidup bukan lagi sekedar tentang sesuap nasi. Seakan-akan tuhan telah membukakan satu gerbang pintu untuknya, rejeki. Rejeki yang tidak hanya cukup untuk membeli beras, tapi juga untuk membeli seragam, sepatu sekolah buat anaknya. Tidak tidak, pekerjaannya tidak lebih ringan dari yang dulu. Hanya saja, dia bergerak lebih cepat dari satu tempat ke tempat lainnya dari seusai disalami anaknya di pagi hari hingga adzan ashar berkumandang. Karena sebelum petang tiba, dia juga harus menemui ustad dan bertegur sapa dengan tetangga sebelahnya. Karena saat petang tiba, dia hanya ingin berduaan dengan anaknya, melihat anaknya, menemaninya belajar walau hanya sekedar duduk diam.
            Ditutupnya pintu rumahnya yang sekarang sudah terbuat dari kayu jati. Membersihkan tempatnya berjama’ah sholat maghrib lalu bergegas mengambil tikar untuk tempat anaknya belajar nanti seusai mengaji. Ketika anaknya mengaji, dia berlalu ke dapur tepat di depan tempat sholat mengupas pisang untuk digoreng dengan sembari menajamkan telinganya agar bisa mendengar suara anaknya melafazkan ayat-ayat alqur’an. Tak jarang, suara yang begitu lancar membacakan alqur’an itu membuatnya meneteskan air mata secara diam-diam di dapur. Betapa bahagia hatinya, semakin kuat keinginannya untuk mendengar kefasihan suaranya membicarakan hal-hal lain yang tidak dia ketahui, hal-hal yang dianggap hebat di dunia. Usai menggoreng pisang yang tumbuh di belakang rumahnya, dia letakkan pisang-pisang itu di atas piring plastik lalu dibawanya pisang-pisang itu di dekat anaknya.
            Dia sendiri duduk tepat di samping anaknya. Meski kantuk telah menyerang hebat akibat lelah di siang hari, tapi sungguh dia pantang memejamkan mata saat mata anaknya masih bersinar dengan deretan huruf di buku-buku pelajarannya. Malam adalah waktu paling panjang untuk berduaan dengan anaknya, sama sekali dia tak mau menyia-nyiakan begitu saja. Karena saat fajar esok menjelang, dia hanya memiliki sedikit waktu untuk melihat anaknya.
            Mentari pagi telah tiba ribuan kali, hari ini dia melihat sinar di mata anaknya melebihi terangnya sinar mentari. Hari ini, anak perempuannya ada di antara jejeran mahasiswa bertoga. Hari ini, anak perempuannya tersenyum di sampingnya dengan sebuah piagam penghargaan, lulus sempurna.
            “Ya Allah, sudahkah tugasku selesai?” tanyanya dalam hati.
           

Leave a Reply