Archive

Archive for Oktober 2013

Pertemuan Bertakdir



Tugas Bengkel Tulis 4
Pertemuan Bertakdir
By: Ainul Maghfirah
            Laki-laki itu bernama Sholeh. Dia adalah laki-laki berbusanakan gamis dan peci putih berhiaskan hidung mancung dan janggut tipis di dagu. Orang-orang menyebutnya Habib, Habib Sholeh. Dia cukup terkenal di desa itu. Maklum, dia putra dari seorang Habib yang sering mengisi pidato agama di berbagai acara hajatan penduduk desa. Tidak hanya itu, katanya mereka adalah keluarga dari keturunan nabi terakhir.
            Hampir semua orang di desa itu menghormati keluarga sang Habib, dari buyut hingga cicit-cicitnya, termasuk dia. Menurut mereka, kutukan tuhan akan turun jika tak sopan pada keluarga keturunan nabi terakhir itu.
            Bukan hanya perkara garis keturunan, dia juga memiliki suara yang menawan dan ilmu agama yang cukup mendalam. Suaranyalah yang terdengar dari masjid setiap adzan berkumandang. Dialah yang kerapkali menggantikan posisi ayahnya dalam suatu pengajian jika ayahnya berhalangan hadir.
            Di lain hal, dia seakan-akan tak pernah absen dari beribadah. Bukan hanya ibadah bangsa sholat saja, namun dia juga gemar bersedekah, uang seakan-akan mengalir deras ke sakunya. Membantu orang-orang yang lemah. Beberapa kali mengadakan bakti sosial yang dipimpin langsung olehnya. Dengan begitu, siapa yang berani meremehkannya? Bahkan beberapa orang yang fanatik, mengiranya 100% adalah kekasih utusan tuhan.
*****
            “Gimana caranya kaya ya? Tiap hari diuber-uber orang. Ditagih mulu! Kesel!” keluh Titin, tetangga Sholeh, dalam suatu perkumpulan ibu-ibu.
            “Kalau mau kaya, jangan pelit-pelit Tin, suamimu itu suruh sedekah! Liat tuh habib Sholeh, sedekah mulu, bukannya miskin, malah tambah kaya! Wajib tuh dicontoh!” ujar Nafisah yang gemar sekali mendengarkan ceramah habib Sholeh tentang keutamaan bersedekah.
            “Yee,, gimana mau bersedekah Fis! Hutang aja gak bisa bayar! Kalau Habib Sholeh mah sudah kaya dari awal!” protes Titin membela suaminya yang jarang sekali bersedekah.
            “Coba rutin Sholat malam dan Sholat dhuha!” Nafisah masih merujuk pada Habib Sholeh
            “Sudah! Tapi jarang-jarang sih” kata Titin ragu
            “Kalau kayak kamu sholatnya, ya susah mau dikabulin sama gusti robbi. Contoh tuh habib Sholeh! Dia sholat malamnya rutin! Makanya hidupnya bahagia” ujar Nafisah
            “Ya bedalah kita sama beliau. Beliau itu kan sudah dekat dengan gusti Allah, makanya do’anya mudah dikabulkan. Kalau kayak kita-kita ini, penuh dosa! Ya susah mau dikabulkan!” sela ibu-ibu yang lain
            Seketika pembicaraan itu berhenti saat mereka melihat Habib Sholeh ada tak jauh dari mereka. Merekapun tersenyum dan menundukkan wajah.
            “Benar kata buk Nafisah, sholat malam itu punya banyak keutamaan. Makanya saya tidak pernah meninggalkan sholat malam. Eman buk kalau ditinggalkan. Do’anya juga bisa dikabulkan lebih cepat” Habib Sholeh tersenyum lalu undur diri dari perkumpulan ibu-ibu.
            Ibu-ibu itu serentak bilang “nggih bib”
*****
Perempuan itu bernama Sinta. Dia adalah perempuan dengan rok mini superketat dan wajah berhiaskan tindikan logam di hidung dan di lidahnya. Orang-orang menyebutnya sampah, sampah masyarakat. Dia juga cukup terkenal di desa itu, bahkan dia lebih terkenal dibandingkan habib Sholeh.
Maklum, dia pelacur desa, bertugas menggoda para pria di desa. Menggoda hanya untuk beberapa lembar uang 5 dan 10 ribuan. Dia juga yang suka meminumkan bir murahan pada laki-laki tak beriman di desa itu. Baik tua maupun muda. Baik yang beristri maupun tidak. Baginya mereka sama saja, pendonor uang.
Bukan, dia bukan orang miskin. Dia orang kaya. Super kaya. Dia hanya merasa jijik memakan uang kedua orang tuanya. Dia tak sudi memakan uang haram dari ayah ibunya yang diperoleh dari menghardik orang-orang miskin di desanya, rentenir. Dia lebih merasa halal memakan uang kotor melalui jalan kotornya sendiri.
Hampir tiap hari terdengar teriakan dari rumahnya. Teriakannya, ibunya, dan ayahnya. Teriakan rutinan itu sudah seperti menjadi kaset tak terdengar oleh telinga masyarakat desa. Sudah tidak ada yang peduli. Yang jelas, mereka hanya peduli satu hal, mereka sampah masyarakat!
Beberapa kali mereka mendesak kepala desa untuk mengusir mereka dari desa. Tapi apa daya, algojo peliharaan orang tua Sinta begitu menyeramkan. Lagian, tanah di rumah itu resmi milik mereka.
Beberapa kali mereka juga berusaha melaporkan ke polisi perihal pekerjaan Sinta, namun seperti keberuntungan selalu di tangan Sinta, polisi juga tak bisa menyeretkan ke bali jeruji besi. Tidak ada bukti.
Hingga akhirnya masyarakat menyerah, dan memilih untuk mengawasi gerak-gerik suami dan anak laki-laki mereka.
*****
“Oh, jadi berzina itu dosanya besar banget ya bib?” Tanya seorang santri
“Iya. Dia harus dirajam sebanyak 40x”
“Bib, Rentenir itu termasuk riba bukan?”
“Iya”
“Wuah, gimana dengan tetangga kita yang orangtuanya adalah rentenir, sedangkan anaknya adalah pelacur?”
“Ketiga-tiganya berdosa besar. Tempat kembali yang paling tepat bagi mereka adalah neraka” Jawab Habib Sholeh mantap. “Makanya jadilah suami dan ayah yang baik nanti. Biar tidak memiliki keluarga seperti itu” 
“InsyaAllah bib, mohon do’anya”
Habib itu menganggukkan kepala lalu pergi meninggalkan santrinya yang masih menunduk.
*****
Dan malam ini mereka bertemu. Habib Sholeh dan Sinta. Sinta yang sedang bertugas dan Habib Sholeh yang baru datang bertugas.
Mobil yang ditumpangi Habib Sholeh mogok tepat di lorong kecil depan warung remang-remang tempat Sinta bertugas malam ini. Melihat mobil itu, Sinta segera keluar warung. Melepaskan pelukan laki-laki botak di sampingnya yang sedang teler dengan bir. Dia pikir, mobil itu adalah mobil pelanggan barunya yang tadi siang sudah janjian lewat telepon.
            Sinta sudah berdiri tepat di depan warung yang terbuat dari bambu. Menunggu seseorang keluar dari mobil mewah itu. Malam ini, Sinta sengaja berdandan lebih cantik setelah pelanggan barunya bilang akan bawa mobil.
            Pintu mobil itu sudah terbuka. Habib Sholeh keluar dari mobil. Sesuai nama tempatnya, warung remang-remang, tempat itu tak cukup terang untuk melihat wajah masing-masing. Namun, dari pakaian yang dikenakan laki-laki itu lengkap dengan pecinya, Sinta bisa menebak bahwa laki-laki yang baru turun dari mobil bukan orang yang dia tunggu.
            Namun, Sinta tetap tak bergeming. Dia berusaha melihat jelas wajah laki-laki itu dengan melangkahkan kakinya beberapa langkah ke depan.
            Melihat gerakan Sinta, habib Sholeh mengerutkan dahi lalu mempertajam pandangannya.
            Sekarang mata mereka bertemu. Sejenak, bumi dan langit seperti sedang berganti posisi. Akhirnya, mata keduanya saling mengenali.
            Menyadari itu habib Sholeh, Sinta bergegas membalikkan badan dan mulai melangkah kembali ke warung. Namun langkah itu terhenti saat tiba-tiba laki-laki yang baru ditatapnya memanggil nama tambahannya.
            “Heh pelacur!” Habib Sholeh berang. “Dasar tidak tahu malu! Menghancurkan moral-moral penduduk desa! Betapa banyak dosa yang sudah kamu lakukan? Parahnya, kamu juga menyeret warga desa ke dalam kubangan dosamu! Kalau mau berdosa, jangan ngajak-ngajak yang lain dong! Kamu dan keluargamu tak ubahnya syeitan yang mencari teman untuk tinggal di neraka!” umpat habib Sholeh dengan keyakinan yang menenuhi tubuhnya.
            Kata-kata itu tidak seperti angin malam yang selalu Sinta abaikan. Namun, juga tidak seperti Halilintar yang akan membakar tubuhnya.
            Hanya saja, seperti Sinta melihat cahaya turun dari langit lalu perlahan memasuki rongga tubuhnya, menghangatkan komponen-komponen tubuhnya yang sudah lama membeku. Mengaktifkan kembali sistem syaraf di otaknya. Menjernihkan matanya yang tertutup awan kelabu.
            Dia mengingat, dia melihat, apa-apa yang telah dilakukannya. Tiba-tiba saja dia merasa jijik. Perlahan air matanya turun, diapun melangkah menjauh dari habib Sholeh dan warung remang-remang itu.
            Kini, ada nama tuhan dalam pikirannya. Hatinya bergetar.
            “Maafkan aku tuhan, maafkan aku. Terima aku kembali tuhan seperti saat pertama kali kita berinteraksi. Saat aku masih terbungkus suci di rahim ibu. Terima aku tuhan” ucapnya sangat pelan dengan air mata bercucuran. Sedangkan kakinya masih melangkah gontai menyusuri lorong yang tiap malam menjadi tempat tetapnya melangkahkan kaki.
            Habib Sholeh yang tertinggal di belakang tak ambil pusing dengan sikap Sinta.
            “Syeitan Perempuan!Huh!” umpatnya sekali lagi pada Sinta yang telah menjauh
Diapun mencoba mengendarai mobilnya kembali. Seperti takdir telah menunggu adegan ini, mobil itu tiba-tiba normal kembali. Seperti habib Sholeh telah dikendalikan oleh takdir, dia mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi di lorong yang sempit dan beraspal kasar itu. Mobil itu seperti tak bermata, tiba-tiba
“Awas syeitaaaaaaan!” teriak habib Sholeh pada perempuan yang ada tak jauh dari depan mobilnya yang melaju cepat tak terkendali. Dan itu sudah terlambat.
“bruk!” Mobil Habib Sholeh menabrak keras Sinta yang sibuk dengan permohonan maafnya pada tuhan dalam langkah-langkahnya yang gontai.
Sinta, sampah masyarakat itu terlempar ke tembok yang memagari lorong itu. Satu dua, jantungnya masih berdetak. “Terima aku tuhan” ucap Sinta terbata-bata. Melihat sungai yang airnya begitu jernih dan bersih, dia menyunggingkan senyum lalu memejamkan mata dari dunia untuk selama-lamanya.
Sedangkan habib Sholeh, yang gemar beribadah itu seketika meninggal tepat setelah dia menyebut Sinta dengan sebutan Syeitan.
Sepi, tak ada yang tahu. Mungkin besok orang-orang yang melihatnya juga tetap tidak akan tahu dengan senyum Sinta dan umpatan habib Sholeh, tentang kuasa takdir yang telah membalik semuanya, tentang takdir yang tak sepihak dengan pandangan mereka.

           
           

Aku Menyerah, Tuhan

Tugas Bengkel Tulis
Aku Menyerah, Tuhan
By: Ainul Maghfirah
Katanya sih bumi ini bulat, lonjong, atau apalah. Itu kenapa bumi berputar hingga kedudukan kita kadang di atas, kadang di samping, kadang di bawah. Artinya, ada kalanya kita susah, ada kalanya biasa saja, ada kalanya senang. Kupikir itu berlaku untuk semua orang, termasuk diriku. Tapi kau tau? Sejak awal keberadaanku, aku sudah terbuang. Hingga detik ini akupun masih terbuang, bahkan semakin jauh. Andai saja bumi itu datar, aku pasti sudah sangat bersyukur. Aku tidak butuh berada di puncak, mataku sudah terlalu rabun untuk melihat ke atas langit. Tapi tak bisakah aku berhenti dari keterjatuhan yang terus menerus? Hingga bumi ini terasa begitu dalam bagiku, tak kutemui dasarnya untuk sekedar berhenti terjatuh. Oh sungguh, bumi tidaklah bulat, tapi curam!
dasar anak haram! Gak tau malu! Anak sialaaaaaaaaaan!” teriak ibu-ibu gendut yang badannya dipenuhi gemerincing emas. Aku penasaran, sebenarnya apa pekerjaan ibu galak itu. Setahuku, mataku selalu menangkapnya sedang mengipas-ngipas rambut rebonding-nya dengan kipas tangan bergambar burung Nuri. Tak pernah sekalipun aku melihatnya sibuk mengurusi sesuatu kecuali “mengurusi”ku yang tadi secara tak sengaja menjatuhkan pot bunga di pekarangan rumahnya. Apa hanya dengan mengipas-ngipas rambut bisa dapat uang untuk membeli emas semeriah itu?
Yeah, aku anak haram. Ntah apa maksudnya, yang jelas aku ditolak oleh orang yang telah berbaik hati melahirkan diriku ke bumi curam ini. Kau tahu? Sebutan anak haram begitu menarik di Kampung ini. Buktinya, gara-gara sebutan itu, hampir semua orang kampung mengenalku, padahal aku sendiri tak pernah berkenalan dengan mereka. Uniknya, gara-gara sebutan anak haram ini jugalah, muncul sikap-sikap kontradiktif warga kampung padaku. Ada yang melirikku iba, memberiku beberapa uang recehan atau sekedar kacang bungkus. Ada juga yang menatapku jijik, mengumpatku dengan nama-nama hewan yang berkeliaran di sekitar kampung kami.
Kau tahu? akulah satu-satunya penyandang sebutan anak haram di kampung ini. kau pasti heran siapa yang memberiku makan hingga aku bisa hidup sampai saat ini. Tidak, aku tidak tinggal di tempat penitipan anak, aku tinggal di rumah bapak tua yang kupanggil kakek. Dialah yang memberiku makan tiap hari sekali. Dialah yang mengatakan bahwa bumi ini bulat. Namun, seminggu yang lalu dia telah memutuskan untuk pindah rumah, untuk ikut menjauh dariku, parahnya, dia lebih memilih kuburan daripada rumahnya yang kami tempati selama ini. Mungkin karena diapun juga sudah mau muntah tinggal bersamaku, si anak haram.
Aku masih ingat kata-kata terakhirnya sebelum dia memutuskan pindah rumah. “seburuk apapun keadaanmu, jangan pernah bersedih. Bersyukurlah atas hidup yang telah tuhan berikan padamu. Jadilah hamba yang taat, dan jangan sekali-kali melanggar aturan. Begitulah cara agar kamu bisa bahagia kelak”
Hah?! Bersedih? Bersyukur? Bahagia? Kelak? Bukankah semuanya hanya omong kosong! Apa itu bersedih? Kapan aku bersedih? Bukankah aku tidak pernah tahu menahu tentang istilah “bahagia”? lalu bagaimana caranya aku bersedih? Aku tidak punya waktu untuk bersedih, bukankah aku sudah cukup sibuk dengan licinnya bumi-nya yang bulat ini? bahkan tanpa alas kaki, bagaimana mungkin aku tak meluncur ke bawah?
Dengan begitu, aku ingin ketawa. Bagian mana dari proses meluncur tak berujung ini yang harus aku syukuri? Bukankah bersyukur hanya untuk mereka yang pernah bahagia? Sungguh aku ingin tertawa sekeras-kerasnya hingga seluruh ruang bumi mendengar tawaku. Kenapa aku harus bersyukur hanya gara-gara aku hidup?!!! Bukankah seharusnya aku menuntut karena telah hidup di dunia?!
Aku heran, kenapa kakek itu selalu menjanjikan kebahagian kelak? Bukankah hari ini adalah kelak dari kemaren? Bukankah kemaren adalah kelak dari kemaren lusa? Nyatanya, kemaren lusa aku kelaparan di pagi hari, kemaren uang hasil mengamenku dirampas preman, dan hari ini aku mendapat umpatan dari ibu-ibu ber-emas itu, bahkan dengan sebutan tambahan “anak sialan!”. Lalu kapan kelak itu? Aku sudah bosan dengan janji-janji palsunya! Bodoh sekali, aku sempat mempercayai janji itu hingga beberapa kali aku mencoba tersenyum, hingga berkali-kali aku rela mengamen sana sini tanpa alas kaki. Tapi apa yang kudapatkan? Bukankah selama ini aku tak pernah makan lebih dari 1x dalam sehari? dan bajuku hanya 2 potong, hingga tiap baju aku pakai selama 3 hari. Parahnya, jika hujan datang pada hari kedua, aku harus kedinginan karena tak bisa berganti baju. Bahkan di rumahnya pun aku tak bisa berlindung dari hujan.
sana pergi! Bikin kotor beranda toko aja!” seseorang yang wajahnya begitu rupawan dengan rambut cepaknya mengusirku yang sedang berlindung dari hujan di beranda tokonya sehabis mengamen. Aku bingung, bagaimana bisa aku membuat tokonya kotor? Tidak ada sampah yang ku bawa. Bajuku bahkan baru diganti tadi pagi, rambutku sudah aku ikat ke belakang, kencrengan yang ku bawa juga tidak karat-karat amet. Ah jangan-jangan dia juga tahu kalau aku adalah anak haram. Pernah suatu hari pembantu rumah tangga tetangga sebelahku saat membeli sayur ke pak mamat di depan rumah tumpanganku melirik sadis padaku lalu berkata pelan namun jelas terdengar “gerobaknya pindah di depan rumah buk Ayu aja pak, di sini ada anak kotor, jijik pak” hah! Berani sekali dia bicara begitu, bukankah dia hanya sekedar pembantu? Aku jadi berpikir, anak haram ternyata jauh lebih rendah dibandingkan pembantu rumah tangga.
Tapi yang paling membuatku bingung adalah gadis kecil bergaun putih bak putri salju yang baru turun dari sedan bersama supirnya tepat setelah aku mendapat umpatan gratis dari ibu-ibu gendut itu. Dia sering sekali berkunjung ke rumah ibu gendut itu, yang kutahu dia adalah putri dari kepala kampung. Ku dengar dari kakek, dia juga tak beda jauh dariku, dia juga ditolak oleh orang yang melahirkannya ke bumi, lalu anak itu dipungut oleh kepala kampung. Menurutnya, Semua orang kampung juga tahu tentang informasi ini. Tapi sekalipun tak pernah ku dengar orang-orang di sini menyebut kata-kata anak haram selain padaku. Kenapa? Bukankah dia juga berhak menyandang sebutan itu? Sebaliknya, semua orang selalu tersenyum manis saat bertatap mata dengannya, menyebutnya dengan kata-kata nduk, nak, sayang, neng dan panggilan layak lainnya. Bahkan ibu-ibu gendut itu dengan sigap membersihkan pot bunga lainnya yang terserempet oleh ban sedan si putri salju. Ku tunggu beberapa detik, menit, menunggu umpatan apa yang akan keluar dari mulut lebarnya pada si putrri salju, atau setidaknya pada si supir. Namun sungguh di luar dugaan, kepala ibu gendut itu malah menoleh ke arahku yang masih tak beranjak dari pekarangan rumahnya. “heh! Anak sialan! Ngapain masih di situ??!!!! Pergi pergi! Husssh!”
Sungguh tidak adil. Ban sedan yang menyerempet pot bunganya yang lain, kenapa juga harus aku yang mendapatkan umpatan untuk pot itu? Pot pertama, aku bisa terima, karena memang salahku. Pot yang kedua? Jelas aku tidak bisa terima. Itu salah ban sedan si putri salju! Kenapa bukan dia saja yang dimaki?!
Oh kakek, apa kau berbohong lagi padaku tentang anak pak kampung yang tak jauh beda dariku itu? Tidak mungkin dia sama denganku, atau orang-orang belum tahu informasi itu? Ah sudahlah, aku bosan percaya pada kakek. Semua perkataannya selalu berkebalikan dengan kenyataan.
Benar kata-kata Lisa, teman mengamenku dari kampung lain. “kalau kamu ingin bahagia, jadilah orang kaya. Kalau kamu ingin dihormati, jadilah orang kaya. Kalau kamu ingin dikelilingi oleh banyak teman, jadilah orang kaya. Orang berduit itu bisa membeli semuanya sil! begitulah kata kakekku, tapi kalau kerjaannya cuma ngamen gini, gak usah mimpi jadi orang kaya deh, alias harus ikhlas hidup tanpa semuanya itu! hahahaha” celetuknya suatu hari saat aku sebal sama pembantu rumah tangga genit itu.
Bahagia sekali hidup Lisa, biar miskin, tapi dia punya kakek yang jujur. Tidak seperti kakekku yang penuh dengan kepalsuan. Biar hatiku lebih membenarkan kata-kata kakekku, tapi aku tetap saja lebih menerima kata-kata kakeknya. Kita hidup di dunia nyata kan? Begitulah kenyataannya.
Mungkin sekarang saatnya aku berubah, saatnya aku mengambil semuanya. Apalagi yang lebih menyedihkan selain dimaki-maki orang? Selain menjadi buangan semua orang? Kalau ngamen tidak bisa membuatku kaya, maka aku bisa curang pada dunia, bukankah dunia juga curang padaku? Jangan berbicara tentang jalan yang lurus, jalan lurusku terlalu licin, bukannya sampai tujuan, aku bisa mati duluan.
*****
Sudah 2 tahun aku mengubah jalan hidupku. Beginilah keadaanku sekarang. Kemana-mana naik sepeda matic lengkap dengan helm. Sehari aku bisa makan 2x, bahkan kalau mau, aku bisa makan sampai 3x. Tak ada yang perlu aku khawatirkan. Uang menumpuk di saku, aku bisa beli buah apel segar tiap hari di tempat bergengsi. Mengenai bajuku, haha, bukan lagi 2 potong, tapi berpotong-potong. Aku bisa ganti baju tiap hari, kalau mau, bukan hanya sekali, dalam sehari aku bisa ganti baju berkali-kali. Aku pun bisa berlindung dari air hujan di rumah baruku, di rumah yang layak untuk ditempati manusia. Temanku? Banyak sekali. Hidupku bergelimang dengan pujian. Pujian dari banyak laki-laki.
Mengenai nasib Lisa, aku sudah tidak tahu lagi. Sejak aku memutuskan berubah, sama sekali tidak terbersit keinginan untuk mengajak siapapun. Aku ingin menikmati hidup sendiri. Terlebih ibu-ibu gendut ber-emas itu, mungkin emas-nya sekarang sudah bertambah sekitar 10-15 gram. Siapa peduli? Toh aku juga sudah bisa beli apa yang dia beli. Aku benar-benar telah meninggalkan hidup tak terhormat itu tanpa menyisakan secuilpun. Sekaligus meninggalkan semua kebohongan yang dilontarkan kakekku kecuali tentang kebulatan bumi. Sekarang aku mempercayainya. Aku sudah berganti kedudukan bukan? Aku sudah berada di atas.
Tapi hari ini, apa yang kuperoleh membuatku tercengang. Menohok bagian terdalam dari diriku (bisa jadi itu hati, aku sudah lupa dengan nama organ tubuhku itu) seperti aku terlempar dari tempat tertinggi ke tempat terendah, lebih rendah dari tempatku terjerembab 2 tahun yang lalu. Membuat mataku terbelalak.
iblis! Perempuan hina! Tega-teganya kamu menghancurkan hidup kami! sekali lagi kamu berani mendekati suamiku, aku bunuh kamu!!!!” teriak perempuan paruh baya padaku. Perempuan paruh baya yang mengaku-ngaku sebagai istri dari salah satu pelangganku, om botak itu. Dengan bengis dia mencekik leherku, tak peduli mulutku mengap-mengap kehabisan napas, dia semakin semangat mencekikku. Kau lihat matanya? Ada bayang seorang pembunuh di sana. Namun tanpa ku minta, akhirnya dia melepas tangannya dari leher jenjangku lalu pergi setelah menampar keras pipi kananku.
Aku tersungkur tak berdaya di depan pintu rumah “layak”ku ini. Ku lihat orang-orang yang berlalu lalang di depan rumahku saling berbisik, ntah berbisik apa, yang jelas dari ekspresi wajah mereka, aku yakin mereka sedang memakiku.
Jadi kamu si pelacur itu??! Pengganggu suami-suami orang lain. Dasar emang anak sialan! Bukan Cuma anak haram, tapi kamu juga perempuan haram! Darah ibumu benar-benar mengalir dalam darahmu! Najis! Menjijikkan!” seseorang tiba-tiba menjambak rambutku dengan kecepatan tinggi. Sungguh rasanya semua helai rambutku tercabut dari kepalaku. Ku dongakkan kepala, tidak kuduga, dia adalah ibu-ibu gendut ber-emas itu. Ada urusan apa lagi dia denganku? Aku bahkan tidak pernah memeras suaminya. Jangan-jangan dia adalah teman perempuan yang mencekikku tadi. Ah aku tidak peduli. Apapun alasan dia menghinaku lagi, yang jelas kata-katanya jauh lebih menyakitkan dibandingkan 2 tahun yang lalu.
Perempuan hina!” katanya lagi, lalu pergi setelah mendorong kepalaku ke pintu. Oh tuhan, kenapa hidupku jadi seperti ini? bahkan lebih parah dari dulu saat aku masih makan 1x dalam sehari, saat orang-orang hanya memanggilku anak haram, anak sialan, dan anak kotor saja. Sebegitu bencikah kau padaku tuhan?
Kuputuskan untuk tetap diam di depan pintu, menatap kosong pekarangan rumahku yang begitu elok dengan aneka warna bunga.
hahaha, makanya jadi cewek jangan kemaruk!” Indah dan beberapa teman se-profesiku tiba-tiba ada di depanku. Cara mereka menertawaiku, aku mengerti. Merekalah yang memberikan info pada kedua ibu-ibu yang menghinaku tadi. Dasar bodoh! selama ini mataku buta, buta oleh banyaknya jumlah teman. Baru ku sadari, ternyata mereka palsu. Mereka mengkhianatiku. Kemaruk? Jadi mereka iri padaku? Hah! “Lisa, di mana kamu?” ucapku pelan pada udara, meneteskan bulir-bulir air mata yang kurasakan begitu perih. Apa yang telah aku lakukan?
kakek, apakah perkataanmu benar adanya?” tiba-tiba aku teringat pada semua kata-kata kakek yang kuanggap hanya omong kosong.
*****
“Jadilah hamba yang taat, dan jangan sekali-kali melanggar aturan. Begitulah cara agar kamu bisa bahagia kelak” huufht, tuhan, itu perkataan kakekku. Hatiku membenarkan, namun mataku begitu ragu, bahkan ragaku menolaknya. Aku telah melanggar peraturan tuhan. Terbuktilah kebenaran kata-kata kakek, aku menjadi semakin jauh dari kebahagiaan.
“Tuhan, aku menyerah. Aku akan taat padamu. Aku menyerah menyombongkan diri. Aku menyerah tuhan, jangan hukum aku lagi” ku rendahkan kepalaku sejajar dengan lantai kamarku, bulir-bulir air mataku merembes tak terbendung. Sedikit kurasakan ketenangan dan ketakberdayaan memenuhi rongga batinku. Sudah kuputuskan, aku akan menyerahkan segalanya, pada tuhan.