Tugas Bengkel Tulis 4
Pertemuan Bertakdir
By: Ainul Maghfirah
Laki-laki itu bernama Sholeh. Dia
adalah laki-laki berbusanakan gamis dan peci putih berhiaskan hidung mancung
dan janggut tipis di dagu. Orang-orang menyebutnya Habib, Habib Sholeh. Dia
cukup terkenal di desa itu. Maklum, dia putra dari seorang Habib yang sering
mengisi pidato agama di berbagai acara hajatan penduduk desa. Tidak hanya itu,
katanya mereka adalah keluarga dari keturunan nabi terakhir.
Hampir semua orang di desa itu
menghormati keluarga sang Habib, dari buyut hingga cicit-cicitnya, termasuk
dia. Menurut mereka, kutukan tuhan akan turun jika tak sopan pada keluarga keturunan
nabi terakhir itu.
Bukan hanya perkara garis keturunan,
dia juga memiliki suara yang menawan dan ilmu agama yang cukup mendalam.
Suaranyalah yang terdengar dari masjid setiap adzan berkumandang. Dialah yang
kerapkali menggantikan posisi ayahnya dalam suatu pengajian jika ayahnya
berhalangan hadir.
Di lain hal, dia seakan-akan tak
pernah absen dari beribadah. Bukan hanya ibadah bangsa sholat saja, namun dia
juga gemar bersedekah, uang seakan-akan mengalir deras ke sakunya. Membantu
orang-orang yang lemah. Beberapa kali mengadakan bakti sosial yang dipimpin
langsung olehnya. Dengan begitu, siapa yang berani meremehkannya? Bahkan beberapa
orang yang fanatik, mengiranya 100% adalah kekasih utusan tuhan.
*****
“Gimana caranya kaya ya? Tiap hari
diuber-uber orang. Ditagih mulu! Kesel!” keluh Titin, tetangga Sholeh, dalam
suatu perkumpulan ibu-ibu.
“Kalau mau kaya, jangan pelit-pelit
Tin, suamimu itu suruh sedekah! Liat tuh habib Sholeh, sedekah mulu, bukannya
miskin, malah tambah kaya! Wajib tuh dicontoh!” ujar Nafisah yang gemar sekali
mendengarkan ceramah habib Sholeh tentang keutamaan bersedekah.
“Yee,, gimana mau bersedekah Fis!
Hutang aja gak bisa bayar! Kalau Habib Sholeh mah sudah kaya dari awal!” protes
Titin membela suaminya yang jarang sekali bersedekah.
“Coba rutin Sholat malam dan Sholat
dhuha!” Nafisah masih merujuk pada Habib Sholeh
“Sudah! Tapi jarang-jarang sih” kata
Titin ragu
“Kalau kayak kamu sholatnya, ya
susah mau dikabulin sama gusti robbi. Contoh tuh habib Sholeh! Dia sholat
malamnya rutin! Makanya hidupnya bahagia” ujar Nafisah
“Ya bedalah kita sama beliau. Beliau
itu kan sudah dekat dengan gusti Allah, makanya do’anya mudah dikabulkan. Kalau
kayak kita-kita ini, penuh dosa! Ya susah mau dikabulkan!” sela ibu-ibu yang
lain
Seketika pembicaraan itu berhenti
saat mereka melihat Habib Sholeh ada tak jauh dari mereka. Merekapun tersenyum
dan menundukkan wajah.
“Benar kata buk Nafisah, sholat
malam itu punya banyak keutamaan. Makanya saya tidak pernah meninggalkan sholat
malam. Eman buk kalau ditinggalkan. Do’anya juga bisa dikabulkan lebih cepat”
Habib Sholeh tersenyum lalu undur diri dari perkumpulan ibu-ibu.
Ibu-ibu itu serentak bilang “nggih
bib”
*****
Perempuan itu bernama Sinta. Dia adalah perempuan dengan rok mini superketat
dan wajah berhiaskan tindikan logam di hidung dan di lidahnya. Orang-orang
menyebutnya sampah, sampah masyarakat. Dia juga cukup terkenal di desa itu,
bahkan dia lebih terkenal dibandingkan habib Sholeh.
Maklum, dia pelacur desa, bertugas menggoda para pria di desa.
Menggoda hanya untuk beberapa lembar uang 5 dan 10 ribuan. Dia juga yang suka
meminumkan bir murahan pada laki-laki tak beriman di desa itu. Baik tua maupun
muda. Baik yang beristri maupun tidak. Baginya mereka sama saja, pendonor uang.
Bukan, dia bukan orang miskin. Dia orang kaya. Super kaya. Dia
hanya merasa jijik memakan uang kedua orang tuanya. Dia tak sudi memakan uang
haram dari ayah ibunya yang diperoleh dari menghardik orang-orang miskin di
desanya, rentenir. Dia lebih merasa halal memakan uang kotor melalui jalan
kotornya sendiri.
Hampir tiap hari terdengar teriakan dari rumahnya. Teriakannya,
ibunya, dan ayahnya. Teriakan rutinan itu sudah seperti menjadi kaset tak
terdengar oleh telinga masyarakat desa. Sudah tidak ada yang peduli. Yang
jelas, mereka hanya peduli satu hal, mereka sampah masyarakat!
Beberapa kali mereka mendesak kepala desa untuk mengusir mereka
dari desa. Tapi apa daya, algojo peliharaan orang tua Sinta begitu menyeramkan.
Lagian, tanah di rumah itu resmi milik mereka.
Beberapa kali mereka juga berusaha melaporkan ke polisi perihal
pekerjaan Sinta, namun seperti keberuntungan selalu di tangan Sinta, polisi
juga tak bisa menyeretkan ke bali jeruji besi. Tidak ada bukti.
Hingga akhirnya masyarakat menyerah, dan memilih untuk mengawasi
gerak-gerik suami dan anak laki-laki mereka.
*****
“Oh, jadi berzina itu dosanya besar banget ya bib?” Tanya seorang
santri
“Iya. Dia harus dirajam sebanyak 40x”
“Bib, Rentenir itu termasuk riba bukan?”
“Iya”
“Wuah, gimana dengan tetangga kita yang orangtuanya adalah
rentenir, sedangkan anaknya adalah pelacur?”
“Ketiga-tiganya berdosa besar. Tempat kembali yang paling tepat
bagi mereka adalah neraka” Jawab Habib Sholeh mantap. “Makanya jadilah suami
dan ayah yang baik nanti. Biar tidak memiliki keluarga seperti itu”
“InsyaAllah bib, mohon do’anya”
Habib itu menganggukkan kepala lalu pergi meninggalkan santrinya
yang masih menunduk.
*****
Dan malam ini mereka bertemu. Habib Sholeh dan Sinta. Sinta yang
sedang bertugas dan Habib Sholeh yang baru datang bertugas.
Mobil yang ditumpangi Habib Sholeh mogok tepat di lorong kecil
depan warung remang-remang tempat Sinta bertugas malam ini. Melihat mobil itu,
Sinta segera keluar warung. Melepaskan pelukan laki-laki botak di sampingnya
yang sedang teler dengan bir. Dia pikir, mobil itu adalah mobil pelanggan
barunya yang tadi siang sudah janjian lewat telepon.
Sinta sudah berdiri tepat di depan
warung yang terbuat dari bambu. Menunggu seseorang keluar dari mobil mewah itu.
Malam ini, Sinta sengaja berdandan lebih cantik setelah pelanggan barunya
bilang akan bawa mobil.
Pintu mobil itu sudah terbuka. Habib
Sholeh keluar dari mobil. Sesuai nama tempatnya, warung remang-remang, tempat
itu tak cukup terang untuk melihat wajah masing-masing. Namun, dari pakaian
yang dikenakan laki-laki itu lengkap dengan pecinya, Sinta bisa menebak bahwa laki-laki
yang baru turun dari mobil bukan orang yang dia tunggu.
Namun, Sinta tetap tak bergeming.
Dia berusaha melihat jelas wajah laki-laki itu dengan melangkahkan kakinya
beberapa langkah ke depan.
Melihat gerakan Sinta, habib Sholeh
mengerutkan dahi lalu mempertajam pandangannya.
Sekarang mata mereka bertemu. Sejenak,
bumi dan langit seperti sedang berganti posisi. Akhirnya, mata keduanya saling
mengenali.
Menyadari itu habib Sholeh, Sinta
bergegas membalikkan badan dan mulai melangkah kembali ke warung. Namun langkah
itu terhenti saat tiba-tiba laki-laki yang baru ditatapnya memanggil nama
tambahannya.
“Heh pelacur!” Habib Sholeh berang.
“Dasar tidak tahu malu! Menghancurkan moral-moral penduduk desa! Betapa banyak
dosa yang sudah kamu lakukan? Parahnya, kamu juga menyeret warga desa ke dalam
kubangan dosamu! Kalau mau berdosa, jangan ngajak-ngajak yang lain dong! Kamu dan
keluargamu tak ubahnya syeitan yang mencari teman untuk tinggal di neraka!”
umpat habib Sholeh dengan keyakinan yang menenuhi tubuhnya.
Kata-kata itu tidak seperti angin
malam yang selalu Sinta abaikan. Namun, juga tidak seperti Halilintar yang akan
membakar tubuhnya.
Hanya saja, seperti Sinta melihat
cahaya turun dari langit lalu perlahan memasuki rongga tubuhnya, menghangatkan
komponen-komponen tubuhnya yang sudah lama membeku. Mengaktifkan kembali sistem
syaraf di otaknya. Menjernihkan matanya yang tertutup awan kelabu.
Dia mengingat, dia melihat, apa-apa
yang telah dilakukannya. Tiba-tiba saja dia merasa jijik. Perlahan air matanya
turun, diapun melangkah menjauh dari habib Sholeh dan warung remang-remang itu.
Kini, ada nama tuhan dalam
pikirannya. Hatinya bergetar.
“Maafkan aku tuhan, maafkan aku.
Terima aku kembali tuhan seperti saat pertama kali kita berinteraksi. Saat aku
masih terbungkus suci di rahim ibu. Terima aku tuhan” ucapnya sangat pelan
dengan air mata bercucuran. Sedangkan kakinya masih melangkah gontai menyusuri
lorong yang tiap malam menjadi tempat tetapnya melangkahkan kaki.
Habib Sholeh yang tertinggal di
belakang tak ambil pusing dengan sikap Sinta.
“Syeitan Perempuan!Huh!” umpatnya
sekali lagi pada Sinta yang telah menjauh
Diapun mencoba mengendarai mobilnya kembali. Seperti takdir telah
menunggu adegan ini, mobil itu tiba-tiba normal kembali. Seperti habib Sholeh
telah dikendalikan oleh takdir, dia mengendarai mobilnya dengan kecepatan
tinggi di lorong yang sempit dan beraspal kasar itu. Mobil itu seperti tak
bermata, tiba-tiba
“Awas syeitaaaaaaan!” teriak habib Sholeh pada perempuan yang ada
tak jauh dari depan mobilnya yang melaju cepat tak terkendali. Dan itu sudah
terlambat.
“bruk!” Mobil Habib Sholeh menabrak keras Sinta yang sibuk dengan
permohonan maafnya pada tuhan dalam langkah-langkahnya yang gontai.
Sinta, sampah masyarakat itu terlempar ke tembok yang memagari
lorong itu. Satu dua, jantungnya masih berdetak. “Terima aku tuhan” ucap Sinta
terbata-bata. Melihat sungai yang airnya begitu jernih dan bersih, dia
menyunggingkan senyum lalu memejamkan mata dari dunia untuk selama-lamanya.
Sedangkan habib Sholeh, yang gemar beribadah itu seketika meninggal
tepat setelah dia menyebut Sinta dengan sebutan Syeitan.
Sepi, tak ada yang tahu. Mungkin besok orang-orang yang melihatnya
juga tetap tidak akan tahu dengan senyum Sinta dan umpatan habib Sholeh,
tentang kuasa takdir yang telah membalik semuanya, tentang takdir yang tak
sepihak dengan pandangan mereka.