Dialogue



“Aku juga tidak ingin selamanya begini, Karang. Namun,  tak bisakah kau anggap ini sebagai usaha normal manusia atas keinginannya?”
******
Lagi, kakiku menyentuh pasir di tepi pantai dekat rumahku. Ntah, aku adalah orang yang gigih atau sebenarnya tidak tau malu. Mencintai seseorang sekeras karang, yang bahkan sedetikpun tak mau menoleh ke arahku.
“Karang, bagaimana kabarmu hari ini? Semoga tetap kuat. Karang, aku tadi bertemu dengan orang gila di jalan raya. Ku pikir dia mengejarku, aku lari sekencang yang aku bisa. Lalu, ku berhenti karena sepertinya tidak ada orang di belakangku. Ku menoleh ke belakang, yah ternyata orang gilanya berhenti di samping tong sampah dekat halte bus mencari-cari sesuatu, nasi. Hihihi.. bahkan dengan orang gila aja aku kege-eran”
Lagi, hening. Tak ada tanggapan. Hanya suara ombak yang menyambut sapaanku dan membawanya jauh ke tengah, hingga aku pun tak bisa mendengar perkataanku. Uniknya, bukan hanya sapaanku, bahkan ombak ini juga telah membawa pergi rasaku, tawar. Heh, aku jadi heran, kenapa hatiku jadi tawar, bukankah seharusnya asin sebagaimana ombak laut yang menyapaku? Bahkan gigiku sudah bergeletuk menahan dinginnya rasa tawar ini.
******
Maafkan aku berlian, mungkin perasaanmu sudah membeku atas diamku. Maafkan aku, aku merasa tak harus menjelaskan padamu. Bukankah kau orang yang cukup tegar dan bijak? Hanya saja, kau belum menang atas emosi yang sebenarnya kita sama-sama yakini kesamarannya. Pergilah berlian, aku bukannya keras seperti perkiraanmu. Aku hanya ingin fokus dengan ombak di depan mataku. Aku tidak ingin lengah sedikitpun berlian. Pergilah, aku terlalu sibuk dengan ombak di pantai ini. Bukankah kau juga harus menyambut dan menjamu ombak yang menyapamu setiap sore? Setiap kau datang ke sini, untuk menyapaku. Dan ikhlaskan aku sedikit berbangga dengan kehadiranmu yang tak pernah absen.
******
Karaaaang, gigiku memang sudah bergeletuk. Bahkan kakiku sudah bergetar. Aku akan pulang, dan akan kembali esok sore untuk menyapamu sekali lagi, tidak, menyapamu berkali-kali lagi. Aku tidak peduli, bahkan bukankah kau juga sudah mengerut terkikis oleh asin dan dinginnya ombak? Anggap aku sok tau, selama kau diam, tak ada pilihan lain bagiku selain menarik kesimpulan sendiri walaupun sebenarnya aku sok mengerti makna dari aksi diammu. Aku akan menariknya pada sudut yang paling positif. Karena aku yakin kau tidak sekeras karang yang bergerigit hitam di lautan. Bahkan karang, tak bisakah kau walau sekedar menoleh, menandakan bahwa kau sadar dengan keberadaanku di belakangmu? Oke, tidak apa-apa. Karaaaaaaang! Aku kembali esok sore! Ku anggap kau mendengar! Daaaah!
“Wuuzz.. wuzzz….”
Ah ombak,, terimakasih sudah menjawab kata-kataku yang mungkin kau lebih mengerti daripada orang yang ku ajak bicara. Aku jadi tidak seperti berbicara sendiri. See you tomorrow.
J
******
Aku tidak tau harus berkata “sampai jumpa” atau tidak. Yang jelas berlian, kau adalah orang paling sabar, sabar menghadapi aku. Atas kesabaranmu, semoga menghasilkan kebaikan dan kebaikan. Kalau kau merasa seharusnya tak perlu menyapaku setiap hari, lakukanlah. Karena mungkin, esok dan esoknya lagi, aku akan tetap diam. Kau bisa menggantinya dengan melakukan hal lain yang lebih bermanfaat. Setidaknya, ini untuk kebaikanmu. Terimakasih Berlian.

Leave a Reply