Inisiasi: dialog senja ke-nol


Senja itu indah, pertanda langit akan segera menggelap, pertanda rembulan dan bintang – bintang kan terlihat. Tak kupikirkan lagi selain pulang, pulang untuk mengistirahatkan diri setelah seharian berjalan menyusuri sapaan ombak kecil di tepi pantai. Aku juga tidak ingin menoleh lagi ke bekas – bekas jejakku yang terhapus di belakang. Ku melangkah hingga air asin itu tak bisa mencapai kakiku. Ah, bukankah sore ini sama dengan sore – sore sebelumnya, tak ada yang lebih istimewa dari senja, tak ada yang lebih istimewa dari riuk ombak kecil, tak ada yang lebih istimewa dari duduk di atas batu karang yang selalu dihampiri ombak, tak ada yang lebih istimewa dari suara tawa anak – anak kecil yang nakal dan bertelanjang dada di tepi pantai. Angin sore inipun masih sama, mengayunkan helai – helai rambut panjangku mengarah ke kepantai.

Ntah sejak kapan, langkahku terhenti akibat kasarnya pasir – pasir mengigit telapak kakiku, ah biar kubungkukkan badan untuk mengusir pasir - pasir usil itu.  Ada apa? Ku tangkap siluet jingga merajai mataku. Arah itu, karang di sebelah sana. Aku ingin sebentar duduk – duduk di atas karang itu. Karang yang mungkin terlihat tak istimewa, hanya saja dia telah menculik perhatian jingga dari mataku. Ku pikir jingga itu istimewa, aku tidak ingin melewatinya.

Karang biasa, tak segagah karang di tengah sana mungkin, tak semungil karang – karang di ujung sapaan ombak di sebelah selatan. Tapi ummm, karang ini terlihat pas di mataku. Karang hitam dengan lubang – lubang kecil sebagai pertanda sifat karanga-wi-nya  dan gerigit – gerigit kasar yang menunjukkan betapa matangnya dia sebagai karang.

Ah, biarlah, aku ingin terlelap malam nanti, salam kenal karang,, aku menyukaimu atas lubang – lubang kecil dan gerigit – gerigit kasar yang kupikir manis.

Leave a Reply