Aku
selalu penasaran dengan pemimpin di negeri ini. Mereka selalu saja lucu. Saat
semua tempat ramai dengan pelatihan kepemimpinan dan menuntut leadership
skills, lalu kenapa di tempat yang sama sifat-sifat kepemimpinan itu dilindas?
Soft
skills selalu menjadi syarat utama jika ingin hidup di negara ini. Mau jadi
pegawai disyaratkan memiliki soft skills sehingga perlu wawancara sebelum
diterima. Mau dapat beasiswapun juga disyaratkan memiliki sifat-sifat
kepemimpinan yang mumpuni. Tapi anehnya, dalam kehidupan nyata soft skills
selalu saja jadi boomerang. Orang yang jujur selalu menjadi musuh. Mereka
dianggap sebagai ancaman. Dalam permainan politik, banyak orang jujur yang
disalahkan dan dijebloskan ke dalam penjara.
Orang-orang yang menyerukan kebenaran ditutup mulutnya agar tak lagi
bersuara. Pekerjaannya dikebiri. Dalam dunia perusahaan ataupun pendidikan,
persyaratan soft skills hanya menjadi formalitas, yang diterima tetap saja
keluarga atau relasi sendiri. Mau jadi PNS harus berani menyuap. Bahkan untuk
masuk universitas negeripun ada proses suap menyuap. Lalu, di mana pentingnya
soft skills di negara ini?
Tak
heran kalau ada ungkapan “yang jujur pasti hancur” di jaman sekarang. Memang
kenyataannya seperti itu. Kejujuran seperti menjadi momok yang menakutkan
sehingga harus digerus sampai tak bernyawa.
Contoh
nyata adalah bapakku sendiri, beliau dipercaya untuk mengatur jalannya
pengairan di desaku. Pekerjaan itu beliau kerjakan dengan baik. Beliau selalu
adil. Yang datang duluan, dapat antrian pertama. Uang dan status sosial
seseorang tak pernah membuat bapakku mendahulukan orang tersebut dalam urusan
air sawah. Beliau juga dengan gagahnya menegur orang-orang beruang yang semena-mena menggunakan air. Beliau tak pernah takut pada
siapapun, sekalipun pada polisi kecamatan selama beliau benar. Berkali-kali
bapakku mengurusi urusan saudara dan tetangga yang berhubungan dengan hukum.
Berkali-kali itu pula para praktisi hukum menawarkan uang sogok pada bapak,
maka berkali-kali itu juga bapak menolak.
Bapakku
tak pernah diam dengan ketidakadilan. Beliau tanpa ragu mengkritik para pejabat
desa yang kinerjanya tidak baik sesopan mungkin. Tak pernah mau diajak “kongkalikong”
terutama saat pilkades atau apalah. Beliau sangat teguh dengan idealismenya.
Tapi apa balasannya? Pekerjaannya sebagai pengatur pengairan sawah dicopot
setelah beliau memperjuangkan hak para petani yang dirugikan oleh kepala desa
baru!
Di
mata orang-orang beliau telah dikalahkan oleh kekuasaan. Patriotismenya sama
sekali tak penting. Sebaliknya, tanpa uang idealisme, prinsip, kepedulian,
nasionalisme, patriotisme, hanya membuatnya menderita dan terhina. Uanglah yang
paling penting. Uang bisa membeli kekuasaan. Kekuasan bisa memakan apapun semaunya.
Ya itulah yang terjadi.
Tapi
di mataku, justru para penguasa itulah yang kalah. Mereka dikalahkan oleh
nafsunya. Bapakku tidak stress, sebaliknya beliau yakin bahwa manusia tak
pernah berkuasa untuk mengambil rejekinya karena rejeki sudah ada takarannya.
Hanya Allah yang mampu mengambil rejekinya. Beliau sama sekali tidak malu
karena dalam hal ini beliau tidak mendholimi siapapun. Justru di mataku, beliau
adalah orang terhormat, lebih terhormat dari para pemegang kekuasaan yang
semena-mena.
Aku
ingin tertawa dengan realita ini. Topeng. Semua orang bertopeng. Yang
berpendidikan semakin bodoh. Yang bodoh semakin dibodoh-bodohi. Kalau hanya
untuk hidup, aku rasa soft skills memang tidak diperlukan. Cukup jadi parasit
saja. Toh justru parasit bikin kaya. Bukankah kaya uang menjadi tolok ukur
utama kesuksesan rata-rata manusia saat ini?
Tapi
aku tidak mau jadi orang bodoh dan tidak ingin sama dengan orang-orang
berpendidikan yang bodoh. Meskipun sedemikian ragunya aku pada pentingnya soft
skills, tapi aku ingin hidup terhormat dengan caraku sendiri. Hidup sebagai
orang yang terlepas dari jahiliah.
Meskipun susah, semoga selalu dikuatkan. Luruskan jalanku Allah.