Archive

Archive for Februari 2016

Ketika Soft Skills (Tidak) Penting



Aku selalu penasaran dengan pemimpin di negeri ini. Mereka selalu saja lucu. Saat semua tempat ramai dengan pelatihan kepemimpinan dan menuntut leadership skills, lalu kenapa di tempat yang sama sifat-sifat kepemimpinan itu dilindas?
Soft skills selalu menjadi syarat utama jika ingin hidup di negara ini. Mau jadi pegawai disyaratkan memiliki soft skills sehingga perlu wawancara sebelum diterima. Mau dapat beasiswapun juga disyaratkan memiliki sifat-sifat kepemimpinan yang mumpuni. Tapi anehnya, dalam kehidupan nyata soft skills selalu saja jadi boomerang. Orang yang jujur selalu menjadi musuh. Mereka dianggap sebagai ancaman. Dalam permainan politik, banyak orang jujur yang disalahkan dan dijebloskan ke dalam penjara.  Orang-orang yang menyerukan kebenaran ditutup mulutnya agar tak lagi bersuara. Pekerjaannya dikebiri. Dalam dunia perusahaan ataupun pendidikan, persyaratan soft skills hanya menjadi formalitas, yang diterima tetap saja keluarga atau relasi sendiri. Mau jadi PNS harus berani menyuap. Bahkan untuk masuk universitas negeripun ada proses suap menyuap. Lalu, di mana pentingnya soft skills di negara ini?
Tak heran kalau ada ungkapan “yang jujur pasti hancur” di jaman sekarang. Memang kenyataannya seperti itu. Kejujuran seperti menjadi momok yang menakutkan sehingga harus digerus sampai tak bernyawa.
Contoh nyata adalah bapakku sendiri, beliau dipercaya untuk mengatur jalannya pengairan di desaku. Pekerjaan itu beliau kerjakan dengan baik. Beliau selalu adil. Yang datang duluan, dapat antrian pertama. Uang dan status sosial seseorang tak pernah membuat bapakku mendahulukan orang tersebut dalam urusan air sawah. Beliau juga dengan gagahnya menegur orang-orang beruang yang semena-mena menggunakan air. Beliau tak pernah takut pada siapapun, sekalipun pada polisi kecamatan selama beliau benar. Berkali-kali bapakku mengurusi urusan saudara dan tetangga yang berhubungan dengan hukum. Berkali-kali itu pula para praktisi hukum menawarkan uang sogok pada bapak, maka berkali-kali itu juga bapak menolak.
Bapakku tak pernah diam dengan ketidakadilan. Beliau tanpa ragu mengkritik para pejabat desa yang kinerjanya tidak baik sesopan mungkin. Tak pernah mau diajak “kongkalikong” terutama saat pilkades atau apalah. Beliau sangat teguh dengan idealismenya. Tapi apa balasannya? Pekerjaannya sebagai pengatur pengairan sawah dicopot setelah beliau memperjuangkan hak para petani yang dirugikan oleh kepala desa baru!
Di mata orang-orang beliau telah dikalahkan oleh kekuasaan. Patriotismenya sama sekali tak penting. Sebaliknya, tanpa uang idealisme, prinsip, kepedulian, nasionalisme, patriotisme, hanya membuatnya menderita dan terhina. Uanglah yang paling penting. Uang bisa membeli kekuasaan. Kekuasan bisa memakan apapun semaunya. Ya itulah yang terjadi.
Tapi di mataku, justru para penguasa itulah yang kalah. Mereka dikalahkan oleh nafsunya. Bapakku tidak stress, sebaliknya beliau yakin bahwa manusia tak pernah berkuasa untuk mengambil rejekinya karena rejeki sudah ada takarannya. Hanya Allah yang mampu mengambil rejekinya. Beliau sama sekali tidak malu karena dalam hal ini beliau tidak mendholimi siapapun. Justru di mataku, beliau adalah orang terhormat, lebih terhormat dari para pemegang kekuasaan yang semena-mena.
Aku ingin tertawa dengan realita ini. Topeng. Semua orang bertopeng. Yang berpendidikan semakin bodoh. Yang bodoh semakin dibodoh-bodohi. Kalau hanya untuk hidup, aku rasa soft skills memang tidak diperlukan. Cukup jadi parasit saja. Toh justru parasit bikin kaya. Bukankah kaya uang menjadi tolok ukur utama kesuksesan rata-rata manusia saat ini?
Tapi aku tidak mau jadi orang bodoh dan tidak ingin sama dengan orang-orang berpendidikan yang bodoh. Meskipun sedemikian ragunya aku pada pentingnya soft skills, tapi aku ingin hidup terhormat dengan caraku sendiri. Hidup sebagai orang yang terlepas dari jahiliah.
Meskipun susah, semoga selalu dikuatkan. Luruskan jalanku Allah.