Suatu hari, guruku memberiku 3 pilihan tentang model interaksi
antar manusia.
- Model budak, di mana dalam model ini ada rasa takut. Dia melakukan sesuatu untuk seseorang karena takut akan menerima hukuman jika tidak dikerjakan. Contoh: seorang anak ikut bersih-bersih di rumah karena takut dimarahi oleh ayah atau ibunya.
- Model pedagang, di mana dalam model ada tawar menawar. Dia melakukan sesuatu karena mengharapkan keuntungan. Contoh: seorang murid belajar dengan tekun untuk mendapatkan nilai yang bagus di rapor.
- Model kekasih, di mana dalam model ini ada ketulusan. Dia melakukan sesuatu semata hanya untuk membahagiakan orang lain. Jika orang lain bahagia, maka dia cukup merasa mendapat keuntungan, ikut bahagia. Contoh: menolong teman yang sedang kesulitan untuk meringankan bebannya.
Dengan pilihan seperti itu, tentu saja pilihan ketiga begitu
menarik, meskipun jujur saja di hati sebenarnya juga ada model 1 dan 2. Dengan
berat hati kupilih nomor 3 dengan azzam tingkat tinggi akan berusaha sampai
sepenuhnya hatiku seperti nomor 3. Saat aku memberi jawaban, guruku tidak
mengomentari pilihanku. Padahal jujur saja, saat itu ada model 2 yang hinggap
di hatiku, yakni mendapat pujian murid yang pintar karena telah memilih yang
paling mulia (atau sebenarnya riya’? hehe).
Setahun setelah itu, aku membaca salah satu perkataan sayyidina Ali
ra. Tentang hal yang serupa dengan pilihan yang ditawarkan guruku. Namun, kali
ini hubungannya langsung dari hamba pada tuhannya. Bahwa jika kita beribadah
karena takut akan siksaanNYA, maka ibadah kita adalah ibadah seorang budak.
Jika kita beribadah karena mengharapkan syurgaNYA, maka ibadah kita adalah
ibarat ibadah seorang pedagang. Terakhir, jika kita beribadah karena rasa
syukur kita pada Allah, maka itulah ibadah seorang kekasih.
Barulah kutahu bahwa guruku menyadur kata-kata menantu kesayangan
Rosulullah shollallaahu ‘alaihi wa sallam itu. saat kulontarkan tentang hal
ini, guruku hanya berkata “You find it, keep reeding! :)” hatiku senang
membaca komentarnya (eih eih, riya’nya belum sembuh, ya?).
Namun, di sini keberatan setahun yang lalu semakin memberatkan
hatiku saja. Bagaimana tidak, dengan gengsi yang tinggi aku memaksakan diriku
hanya murni menjabat yang no 3 dalam hal ibadah. Sedangkan pada kenyataannya,
hati ini amat sangat ciut dengan neraka dan begitu mendamba syurga. Akibatnya
seringkali kali aku marah pada diriku sendiri. Mungkin ini suatu indikator
kecintaanku yang Cuma seuprit pada Allah, tuhanku. Aku terus saja berpikir begitu,
bahwa aku memang tak baik. Karena bagiku pilihan no 2 dan 1 adalah level yang
rendah hina.
Sambil jalan, aku keep reading. Sampai akhirnya aku membaca
karya Salim A. Fillah yang berjudulkan “Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim”.
Dalam salah satu sub babnya dijelaskan bahwa 3 pilar (Takut, harap, dan cinta)
adalah satu kesatuan yang tidak terpisah.
Sampai di situ, aku mulai menghela napas. Selanjutnya deretan
kalimat itu menjelaskan bahwa takut pada neraka bukan berarti mental budak yang
hina, dan mengharapkan syurgaNYA bukan berarti bermental pedagang yang culas.
Bahkan jika hanya bermodalkan cinta, kita akan terseret pada Zindiq, yakni
orang yang tertipu oleh perasaan dan angan kosongnya. Lho, Kok bisa? Coba baca
penjabaran lewat cerita ini dalam buku Ustadz Salim dalam teks penuh
Coba analisis kalimat yang muncul dari seorang yang baru bergabung
dalam thariqat shufi berikut ini. “Dalam Dzikirku aku mengucap Allah.. Allah..
Allah.. lalu aku tenggelam dalam nikmat munajat.. rasanya seperti memasuki sebuah
alam tanpa dimensi.. hanya cahaya.. kuat.. dahsyat.. begitu agung.. begitu
kudus.. sebuah ekstase suci.. sampai tanpa sadar aku hanya mengucap Love..
Love.. Love.. Ya, Tuhan telah mewahyukan padaku, bahwa diriNYA adalah Cinta..
Cinta.. selain itu sungguh tak berarti.”
Kira-kira bagaimana? Bisikan Allah atau bisikan Syaithan?
Logis kan? Kupikir emang logis. Dalam alqur’an-pun Allah banyak
mengancam manusia dengan siksaNYA dan memberi kabar gembira dengan syurgaNYA
plus menyuruh kita takut dan selalu mengharap keridhoaanNYA? Bukankah begitu?
Jadi, tidak perlu lagi deh mengusir rasa takut dan berharap padaNYA
saat beribadah. Karena keduanya juga memang diperintahkan pada kita. Bahkan,
para sahabatpun yang imannya sudah dijamin diterima, banyak berharap masuk
syurga dan takut dengan siksaanNYA.
Jadi ini tentang kolaborasi. Kolaborasi antara rasa takut, harap,
dan cinta yang akan menggema dasyat dalam ruang jiwa, akal, dan tubuh kita.
Memacu semangat untuk berlari mendekatiNYA. Pastikan kita punya ketiganya.
Dua hal dari ini yang kuperoleh, yang pertama tentu tentang
kolaborasi 3 modal tadi. yang kedua, terang, luas, dan ringannya membaca.
Dengan membaca, yang gelap jadi terang, yang sempit menyesakkan dada menjadi
luas, yang berat jadi terasa ringan. Kenapa? karena membaca, kita bisa tahu
ilmunya.
Ah, indahnya menyelami ilmu dari ceceran proses.
Terimakasih guruku, selalu keren dalam mendidikku. InsyaAllah sudah mengerti tentang 3 model yang kau tawarkan setahun yang lalu. 3 model yang membawaku pada awan huruf yang begitu terang.
Terimakasih juga guru-guru tulisan, semoga kemanfaatan yang kuperoleh darimu semua juga menjadi pahala di sisiNYA untukmu.
Terimakasih juga guru-guru tulisan, semoga kemanfaatan yang kuperoleh darimu semua juga menjadi pahala di sisiNYA untukmu.
Ya Allah, tambahkanlah ilmu kami, dan berilah kami kefahaman yang
benar. Semoga ilmu kami bermanfaat di dunia dan di akhirat. Amin.