“Zahra, kamu tidak
akan mati hanya gara-gara ini kan?” seseorang itu mencengkram kedua pundakku,
menghentakku hebat. Aku ternganga melihat dia begitu dekat di depan mataku.
Mataku mendelik lebar dengan kemunculannya dalam sepersekian detik, tepat di
depanku, dalam ruang tak berbatas dimensi.
“Jangan bilang kamu akan menabur malu di wajah ayahmu! Bayangkan
orang-orang akan berkata bahwa Zahra mati bunuh diri hanya gara-gara gak punya
uang buat kuliahnya yang tinggal beberapa bulan lagi! Mending gak usah
disekolahkan tapi anak bisa hidup tenang daripada tertekan seperti itu. Malang
sekali Zahra memiliki ayah yang tidak tahu diri! Memaksakan kehendak di luar
batas kemampuannya. Kalau miskin ya sudah jangan berlebihan bermimpi! ”
pundakku semakin sakit dalam cengkramannya
“Lalu apa bedanya kamu dengan orang yang tak pernah sekolah?!”
bentaknya mengeras. “Zahra, sapu bersih debu-debu yang menyamarkan kesehatan
akalmu! Lihatlah si Rizki, dia bahkan lebih miskin dari kamu. Ibunya
sakit-sakitan. Penelitiannya gagal berpuluh-puluh kali. Tapi dia tidak mati,
bukan? Kamu lihat sendiri, kemaren dia masih sempat cubit-cubitan dengan teman
sebangkunya. Dia masih bisa hidup selayaknya manusia hidup! Tidakkah kamu malu
padanya?”
“Bangun, Zahra! Ini bukan bencana. Ini waktumu untuk bertarung
dengan potensi yang selalu kamu pandang sebelah mata. Sudah cukup meremehkan
diri sendiri. Lihatlah Wanda, temanmu yang gendut itu! bukan hanya perutnya
yang gendut, tapi prestasinya juga gendut, uang di sakunya pun ikutan mengendut
dengan bisnis nasi kuningnya. Emang apa kurangnya kamu dari dia? Kamu sama
manusianya dengan dia. Kalau kamu mau, kamu bisa seperti dia! Gerakan badanmu
bahkan lebih lincah darinya. Kamu bisa berlari 10x lebih cepat dengan badan
seramping milikmu” ujarnya lancar tanpa memberiku kesempatan untuk
mengintrogasi identitasnya.
“Zahra, percayalah ini bukan soal masalah. Ini soal kamu. Kamu mau
ato tidak menghadapinya? Ini soal kamu mau ato tidak untuk mengayunkan kakimu?
Ini soal kamu mau hidup bahagia atau hidup terpuruk termakan rayap yang
menggerogoti mentalmu? Itu saja” dia mulai melembut.
Hening. Mata kami bertemu tanpa sedikitpun melewati frame
mata kami. Pas. Matanya memantulkan kepercayaan, rasa optimis, dan kekuatan.
Mengaktifkan kembali hormon endofrinku, mencairkan kembali darahku yang
rasa-rasanya hampir membeku, dan sekarang ia mengalir deras ke hatiku, nadiku,
sistem syarafku. Menyegarkan kulit wajahku. Rasanya, aku mengenalnya. Memang,
aku mengenalnya.
Seketika dinding sempit bersemen itu memanjang dan melebar lalu
menghilang memperlihatkan hamparan rumput hijau berembun. sejuk. Air liur di
lidahku kembali terasa netral. Bibirku tertarik sempurna melengkung bak bulan
sabit.
“Iya! Ini ada solusinya. Pasti teratasi. Aku mau ini selesai dengan
baik. Aku mau begitu. Aku mau!” ujarku tiba-tiba padanya, pada seseorang yang
sekarang tidak lagi mencengkramku, namun menatapku dengan penuh cahaya yang
menghangatkan urat dalam tubuhku.
Tanganku mencoba menyentuh sesuatu. Kursi plastik. Sentuhan ini
mengembalikan batas-batas dimensi ruang tamuku. Aku segera berdiri lalu berlari
ke kamar mandi. Aku berlari seakan-akan menemukan sejuta ton berlian. Dengan
penuh senyuman aku melaju ke kamar mandi, mencuci wajah, lalu ke kamarku
mengganti bajuku dengan baju yang kemaren sudah disetrika sempurna bercampurkan
wangi pelembut pakaian.
Kurapikan pakaianku di depan cermin. “Yosh! Aku siap bertarung!”
ucapku penuh semangat dan tersenyum lebar meniru gaya Mizuki dalam drama jepang
yang pernah kutonton. Aku meraih tas slempanganku yang sudah berisi kertas dan
pulpen. Aku melangkah ke luar rumah, mengambil sepeda ontelku, dan mengayuhnya
menuju pusat informasi lowongan kerja untuk mahasiswa.
******
“Maaf baru balas, namamu gak ada di daftar, Ra. Mungkin belum rejekimu”
begitu isi sms dari Agung, teman sekelasku yang rutin dapat beasiswa tiap
tahun.
Otot-ototku
seperti mengempes secara serentak, lemas. Pandanganku kabur, dan hatiku? aku
tidak tahu lagi. Satu-satunya hal yang kuharapkan menjadi jalan paling lancar kandas
sudah. Tahun ini aku tidak mendapatkan beasiswa dari kampus.
Jalan di depan
terlihat buntu. Aku tidak tahu mau melangkah kemana. Aku coba membesarkan hati,
tapi kenyataan ini terlalu besar untuk kututupi dengan kelapangan hatiku yang
sedemikian sempit menerima kenyataan.
“Mbak” Zidna,
adekku, menyentuh lenganku takut-takut. Kuberanikan untuk melihat wajahnya.
“Hmm?” responku meminta menjelaskan keperluannya.
“Aku mau bayar
spp, mbak. Terakhir akhir bulan ini. Agaknya, ayah masih belum punya uang” jelasnya
pelan. “Terus, dek wahed juga butuh uang buat bayar spp-nya yang sudah 5 bulan
menunggak. Dia tidak bisa mengambil raport sebelum spp-nya lunas” imbuhnya
lagi.
Aku menyimaknya
semakin pedih. Bagaimana tidak, ayahku gagal panen. Sedangkan beliau hanyalah
seorang buruh tani. Adek pertamaku sudah kelas 3 SMA. Bukan hanya masalah spp
bulan ini, tapi juga uang UN. Pun adek keduaku punya keperluan yang sama. Belum
lagi masalah setoran bulanan sepeda motor.
Aku sendiri sedang dalam penelitian untuk gelar S.Si-ku. Parahnya,
bahan-bahan penelitian yang kuperlukan tidak ada yang murah kecuali akuades
yang perliternya seharga RP 1500 itu. Sudah lebih dari 1 juta uang yang
kuhabiskan untuk penelitian, dan semuanya belum ada hasilnya, gagal total.
Masalah penelitian yang tak kunjung berhasil sudah membuatku frustasi, masih
ditambah dengan masalah uang.
Aku menyandarkan
kepalaku pada kursi dari bahan plastik yang warnanya sudah memudar dimakan
waktu. Kupejamkan mata, berusaha melupakan yang terjadi sejenak. Namun, terus
saja bayangan-bayangan kenyataan hidup yang kujalani sekarang semakin menggila
di kepalaku.
“Argh!” kepalaku
sakit. Aku seperti berada di tempat yang sempit. Berputar ke arah manapun, yang
ditemui hanyalah dinding bersemen. Tak ada udara, tak ada rerumputan hijau
untuk sekedar menyejukkan kepala. Membuatku ingin muntah. Rasanya mau mati
saja. Tanpa beasiswa itu, mustahil aku bisa memenuhi kebutuhan hidupku dan
membantu ayahku.
Sebentar lagi,
mungkin aku akan gila. Mentalku hancur tak berbentuk. Aku bukan orang yang
pasif selama ini, aku aktif ikut seminar-seminar motivasi. Tapi ntahlah,
motivasi-motivasi itu hanya menggugahku saat acara berlangsung, namun segera
menguap bersama teriknya matahari dalam perjalanan pulang. Aku berusaha
mengingat kata-kata saat acara motivasi, namun nihil. Itu tak cukup
menggebrakku keluar dari keterpurukan mental ini.
******
“Selamat bergabung
dengan kami, kita bertemu lagi besok sore” ketua lembaga kursus bimbingan
belajar PINTAR menyalamiku. Aku diterima menjadi guru les di sini, kerja part
time. Meskipun gajinya tidak seberapa, setidaknya, satu pintu telah
terbuka. Aku juga berencana membuka layanan terjemah Inggris-Indonesia.
Kemampuan bahasa inggrisku cukup bagus.
Masalah
penelitian, aku akan mengulangnya lagi besok pagi. Mungkin aku harus lebih
teliti, aku yakin pada saatnya, ini akan berakhir dengan baik. Untuk sementara,
aku memutuskan meminjam uang pada si gendut Winda. Aku juga akan lebih berhemat
lagi masalah makanan, mungkin aku akan sering berpuasa. Selebihnya aku akan
bekerja keras lagi dan lagi.
“Ya Allah, Engkau
memberiku ujian ini, Engkau tahu aku mampu, maka tak ada alasan bagiku untuk
menyerah. Aku malu padaMU. Sungguh! Begitu indah perhatianMU padaku, agar aku
berkembang dengan potensi dahsyat yang Engkau titipkan padaku, maka Engkau
kirimkan ujian padaku. Aku akan meminjam semua potensi yang Engkau berikan
padaku, dan pertolonganMU adalah jaminan pasti, seperti yang Engkau kirimkan
padaku kemaren, hentakan itu, kemauan itu” bisikku tulus dalam hati, “I’m
gonna protect my life” bisikku lagi.
Hari ini
benar-benar cerah. Asal aku mau menggerakkan otak dan badanku, masalah sebesar
apapun, akan menjadi kecil. Ini hanya soal sudut pandang bukan? hahaha, aku
tidak jadi gila atau bunuh diri. Saatnya menunjukkan betapa memesonanya diriku
pada dunia.
“Bagus, Zahra!” seseorang
sedang mengacungkan 2 jempolnya padaku. Seseorang yang sempat membuatku kaget.
Dia sedang tersenyum padaku. Ah Senyumnya begitu memesona. Kali ini aku tidak
lagi merasa kaget dengan kehadirannya. Bagaimana tidak, tak sedetikpun dia
lepas dariku. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal sambil tersenyum tak
kalah memesonanya.
“Terimakasih
Zahra, motivator terhebatku” ucapku bahagia menatap cermin di tempat kerja
baruku ini lalu melangkah pulang.