Archive

Archive for Juni 2014

Motivator Terhebat



            “Zahra, kamu tidak akan mati hanya gara-gara ini kan?” seseorang itu mencengkram kedua pundakku, menghentakku hebat. Aku ternganga melihat dia begitu dekat di depan mataku. Mataku mendelik lebar dengan kemunculannya dalam sepersekian detik, tepat di depanku, dalam ruang tak berbatas dimensi.

“Jangan bilang kamu akan menabur malu di wajah ayahmu! Bayangkan orang-orang akan berkata bahwa Zahra mati bunuh diri hanya gara-gara gak punya uang buat kuliahnya yang tinggal beberapa bulan lagi! Mending gak usah disekolahkan tapi anak bisa hidup tenang daripada tertekan seperti itu. Malang sekali Zahra memiliki ayah yang tidak tahu diri! Memaksakan kehendak di luar batas kemampuannya. Kalau miskin ya sudah jangan berlebihan bermimpi! ” pundakku semakin sakit dalam cengkramannya

“Lalu apa bedanya kamu dengan orang yang tak pernah sekolah?!” bentaknya mengeras. “Zahra, sapu bersih debu-debu yang menyamarkan kesehatan akalmu! Lihatlah si Rizki, dia bahkan lebih miskin dari kamu. Ibunya sakit-sakitan. Penelitiannya gagal berpuluh-puluh kali. Tapi dia tidak mati, bukan? Kamu lihat sendiri, kemaren dia masih sempat cubit-cubitan dengan teman sebangkunya. Dia masih bisa hidup selayaknya manusia hidup! Tidakkah kamu malu padanya?”

“Bangun, Zahra! Ini bukan bencana. Ini waktumu untuk bertarung dengan potensi yang selalu kamu pandang sebelah mata. Sudah cukup meremehkan diri sendiri. Lihatlah Wanda, temanmu yang gendut itu! bukan hanya perutnya yang gendut, tapi prestasinya juga gendut, uang di sakunya pun ikutan mengendut dengan bisnis nasi kuningnya. Emang apa kurangnya kamu dari dia? Kamu sama manusianya dengan dia. Kalau kamu mau, kamu bisa seperti dia! Gerakan badanmu bahkan lebih lincah darinya. Kamu bisa berlari 10x lebih cepat dengan badan seramping milikmu” ujarnya lancar tanpa memberiku kesempatan untuk mengintrogasi identitasnya. 

“Zahra, percayalah ini bukan soal masalah. Ini soal kamu. Kamu mau ato tidak menghadapinya? Ini soal kamu mau ato tidak untuk mengayunkan kakimu? Ini soal kamu mau hidup bahagia atau hidup terpuruk termakan rayap yang menggerogoti mentalmu? Itu saja” dia mulai melembut. 

Hening. Mata kami bertemu tanpa sedikitpun melewati frame mata kami. Pas. Matanya memantulkan kepercayaan, rasa optimis, dan kekuatan. Mengaktifkan kembali hormon endofrinku, mencairkan kembali darahku yang rasa-rasanya hampir membeku, dan sekarang ia mengalir deras ke hatiku, nadiku, sistem syarafku. Menyegarkan kulit wajahku. Rasanya, aku mengenalnya. Memang, aku mengenalnya.

Seketika dinding sempit bersemen itu memanjang dan melebar lalu menghilang memperlihatkan hamparan rumput hijau berembun. sejuk. Air liur di lidahku kembali terasa netral. Bibirku tertarik sempurna melengkung bak bulan sabit.

“Iya! Ini ada solusinya. Pasti teratasi. Aku mau ini selesai dengan baik. Aku mau begitu. Aku mau!” ujarku tiba-tiba padanya, pada seseorang yang sekarang tidak lagi mencengkramku, namun menatapku dengan penuh cahaya yang menghangatkan urat dalam tubuhku.

Tanganku mencoba menyentuh sesuatu. Kursi plastik. Sentuhan ini mengembalikan batas-batas dimensi ruang tamuku. Aku segera berdiri lalu berlari ke kamar mandi. Aku berlari seakan-akan menemukan sejuta ton berlian. Dengan penuh senyuman aku melaju ke kamar mandi, mencuci wajah, lalu ke kamarku mengganti bajuku dengan baju yang kemaren sudah disetrika sempurna bercampurkan wangi pelembut pakaian.

Kurapikan pakaianku di depan cermin. “Yosh! Aku siap bertarung!” ucapku penuh semangat dan tersenyum lebar meniru gaya Mizuki dalam drama jepang yang pernah kutonton. Aku meraih tas slempanganku yang sudah berisi kertas dan pulpen. Aku melangkah ke luar rumah, mengambil sepeda ontelku, dan mengayuhnya menuju pusat informasi lowongan kerja untuk mahasiswa.
******
“Maaf baru balas, namamu gak ada di daftar, Ra. Mungkin belum rejekimu” begitu isi sms dari Agung, teman sekelasku yang rutin dapat beasiswa tiap tahun.

            Otot-ototku seperti mengempes secara serentak, lemas. Pandanganku kabur, dan hatiku? aku tidak tahu lagi. Satu-satunya hal yang kuharapkan menjadi jalan paling lancar kandas sudah. Tahun ini aku tidak mendapatkan beasiswa dari kampus. 

            Jalan di depan terlihat buntu. Aku tidak tahu mau melangkah kemana. Aku coba membesarkan hati, tapi kenyataan ini terlalu besar untuk kututupi dengan kelapangan hatiku yang sedemikian sempit menerima kenyataan.

            “Mbak” Zidna, adekku, menyentuh lenganku takut-takut. Kuberanikan untuk melihat wajahnya. “Hmm?” responku meminta menjelaskan keperluannya.

            “Aku mau bayar spp, mbak. Terakhir akhir bulan ini. Agaknya, ayah masih belum punya uang” jelasnya pelan. “Terus, dek wahed juga butuh uang buat bayar spp-nya yang sudah 5 bulan menunggak. Dia tidak bisa mengambil raport sebelum spp-nya lunas” imbuhnya lagi.

            Aku menyimaknya semakin pedih. Bagaimana tidak, ayahku gagal panen. Sedangkan beliau hanyalah seorang buruh tani. Adek pertamaku sudah kelas 3 SMA. Bukan hanya masalah spp bulan ini, tapi juga uang UN. Pun adek keduaku punya keperluan yang sama. Belum lagi masalah setoran bulanan sepeda motor.

Aku sendiri sedang dalam penelitian untuk gelar S.Si-ku. Parahnya, bahan-bahan penelitian yang kuperlukan tidak ada yang murah kecuali akuades yang perliternya seharga RP 1500 itu. Sudah lebih dari 1 juta uang yang kuhabiskan untuk penelitian, dan semuanya belum ada hasilnya, gagal total. Masalah penelitian yang tak kunjung berhasil sudah membuatku frustasi, masih ditambah dengan masalah uang.

            Aku menyandarkan kepalaku pada kursi dari bahan plastik yang warnanya sudah memudar dimakan waktu. Kupejamkan mata, berusaha melupakan yang terjadi sejenak. Namun, terus saja bayangan-bayangan kenyataan hidup yang kujalani sekarang semakin menggila di kepalaku.

            “Argh!” kepalaku sakit. Aku seperti berada di tempat yang sempit. Berputar ke arah manapun, yang ditemui hanyalah dinding bersemen. Tak ada udara, tak ada rerumputan hijau untuk sekedar menyejukkan kepala. Membuatku ingin muntah. Rasanya mau mati saja. Tanpa beasiswa itu, mustahil aku bisa memenuhi kebutuhan hidupku dan membantu ayahku.

            Sebentar lagi, mungkin aku akan gila. Mentalku hancur tak berbentuk. Aku bukan orang yang pasif selama ini, aku aktif ikut seminar-seminar motivasi. Tapi ntahlah, motivasi-motivasi itu hanya menggugahku saat acara berlangsung, namun segera menguap bersama teriknya matahari dalam perjalanan pulang. Aku berusaha mengingat kata-kata saat acara motivasi, namun nihil. Itu tak cukup menggebrakku keluar dari keterpurukan mental ini.
******
            “Selamat bergabung dengan kami, kita bertemu lagi besok sore” ketua lembaga kursus bimbingan belajar PINTAR menyalamiku. Aku diterima menjadi guru les di sini, kerja part time. Meskipun gajinya tidak seberapa, setidaknya, satu pintu telah terbuka. Aku juga berencana membuka layanan terjemah Inggris-Indonesia. Kemampuan bahasa inggrisku cukup bagus.

            Masalah penelitian, aku akan mengulangnya lagi besok pagi. Mungkin aku harus lebih teliti, aku yakin pada saatnya, ini akan berakhir dengan baik. Untuk sementara, aku memutuskan meminjam uang pada si gendut Winda. Aku juga akan lebih berhemat lagi masalah makanan, mungkin aku akan sering berpuasa. Selebihnya aku akan bekerja keras lagi dan lagi.

            “Ya Allah, Engkau memberiku ujian ini, Engkau tahu aku mampu, maka tak ada alasan bagiku untuk menyerah. Aku malu padaMU. Sungguh! Begitu indah perhatianMU padaku, agar aku berkembang dengan potensi dahsyat yang Engkau titipkan padaku, maka Engkau kirimkan ujian padaku. Aku akan meminjam semua potensi yang Engkau berikan padaku, dan pertolonganMU adalah jaminan pasti, seperti yang Engkau kirimkan padaku kemaren, hentakan itu, kemauan itu” bisikku tulus dalam hati, “I’m gonna protect my life” bisikku lagi.

            Hari ini benar-benar cerah. Asal aku mau menggerakkan otak dan badanku, masalah sebesar apapun, akan menjadi kecil. Ini hanya soal sudut pandang bukan? hahaha, aku tidak jadi gila atau bunuh diri. Saatnya menunjukkan betapa memesonanya diriku pada dunia.

            “Bagus, Zahra!” seseorang sedang mengacungkan 2 jempolnya padaku. Seseorang yang sempat membuatku kaget. Dia sedang tersenyum padaku. Ah Senyumnya begitu memesona. Kali ini aku tidak lagi merasa kaget dengan kehadirannya. Bagaimana tidak, tak sedetikpun dia lepas dariku. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal sambil tersenyum tak kalah memesonanya.

            “Terimakasih Zahra, motivator terhebatku” ucapku bahagia menatap cermin di tempat kerja baruku ini lalu melangkah pulang.

Gue Calon Pemimpin Negeri Ini Part 1


Sebenarnya, gue lebih suka menjalani hidup dengan biasa-biasa saja tanpa mikirin hal yang berat-berat seperti masalah-masalah remaja, korupsi, ataupun pilpres. Tapi gue gak bakal ngikuti jalan tanpa tikungan seperti itu. Gue mau bersesak-sesak ria melihat tayangan tawuran anak SMA, berberat-berat pikir dengan para pengemis yang bersahabat dengan kelaparan dan kebodohan, menyerabukkan pikiran dengan aneka ide kreatif untuk mengatasi segala permasalahan kompleks yang sedang menyelimuti negeri tercinta. Kenapa? karena gue adalah calon pemimpin negeri ini.
 
Sebenarnya, gue lebih suka menangis saat ada merasa sakit, di manapun. Gue juga senang banget mengeluh meluahkan segala kekesalanku atas warna dinding kehidupan yang gue jalani. Tapi, gue gak akan bersikap cengeng dan lemah begitu. Kenapa? karena gue adalah calon pemimpin negeri ini. Gue tahu segala aneka masalah yang membenturku saat ini hanyalah masalah-masalah kecil yang tidak lebih besar dari permasalahan yang akan gue hadapi nanti saat gue jadi pemimpin. Jadi, gue gak akan menangis dan mengeluh hanya karena kerikil-kerikil kecil yang bisa kuatasi dengan sandal jepit 5000-an.

Sebenarnya, hati gue sesak sesesak sesaknya saat gue tidak membalas perlakuan buruk orang lain padaku, gue marah semarah-marahnya saat hakku diambil dengan penuh kelicikan. Rasa-rasanya caci maki 1 hari penuh tidak akan cukup untuk membalas sakit di hatiku. Tapi telah gue lepaskan semuanya. Gue udah lepaskan segala kata sesak, sakit hati, dan marah atas kedoliman yang kuterima pada Allah yang maha melihat dan maha mengetahui. Kenapa? karena gue calon pemimpin negeri ini. Gue tahu, segelintir orang dengan perkataan dan perlakuan beracunnya padaku sekarang terlampau sedikit jika dibandingkan dengan ocehan-ocehan tak berdasar saat gue jadi pemimpin nanti. Salah satu perbedaan antara pemimpin dan orang biasa adalah jika orang biasa memiliki hati seluas kota Jember, maka pemimpin harus memiliki hati seluas Provinsi Jawa Timur. Dan gue akan perluas hati gue sampai bangsa Negeri ini tak dapat melihat batas wilayahnya lagi.

Gue Calon Pemimpin Negeri, Gue siap sediakan akal secerdas professor seluruh bidang ilmu,  Gue siap sediakan bangunan sekokoh gunung dalam diri, Gue siap sediakan lahan seluas di luar perkiraan orang semua kalangan dalam hati. 

Gue, Calon Pemimpin negeri