Beberapa malam
yang lalu, tak sengaja menonton acara Apa Kabar Indonesia Malam yang
membicarakan tentang RUU pasal penghinaan presiden. Tidak seperti biasanya,
saya yang mudah panas dengan isu-isu tersebut, memilih mendengarkan kedua
pembicara yang bersebrangan pendapat meskipun saya sebenarnya sudah langsung
cenderung pada salah satu pembicara yang menentang pasal penghinaan presiden.
Setelah
mendengar sampai tuntas, ditambah membaca sedikit di berita online, saya mulai
memutuskan untuk ikut menyuarakan opini saya. Semoga opini kali ini terbaca
lebih bijak, sehingga bagi Anda yang kurang setuju harap memaklumi, inilah daya
nalar saya yang sangat tidak sempurna. Baiklah, begini jalan nalar saya.
- Kenapa sebelumnya MK memutuskan untuk membatalkan pasal penghinaan presiden? Menurut Pengamat Hukum dari Universitas Trisaksi, Abdul Fikar Hajar, Presiden itu bisa berganti ganti orangnya dan penghinaan itu tidak jelas definisinya sehingga bisa disalahgunakan oleh presiden sebagai penguasa. Karena itulah MK membatalkannya (Republika Online, 2015).
- Bagaimana batasan definisi penghinaan? Menurut saya pribadi, penghinaan sifatnya sangat subjektif. Tergantung bagaimana kita menerimanya. Terutama jika ini tentang pemimpin. Akan sangat sulit untuk membedakan antara kritik dan penghinaan. Jika batasan ini tidak jelas, maka pasal ini akan menghalangi rakyat untuk membuat kritik pada pemimpinnya. Jika kritik tidak lagi bisa sampai pada pemimpin, sangat memungkinkan pemimpin akan terlena.
- Mengapa pak Jokowi merasa perlu mengusung pasal penghinaan presiden Secara manusiawi, saya anggap itu sebagai perlindungan diri mengingat betapa banyak komentar pedas tak bermoral yang dilontarkan rakyat pada beliau. Namun jika itu alasannya, menurut pengamat Tata Negara M Nasef dalam Republika Online (2015), Presiden harus tetap dijunjung tinggi. Karena terdapat pula instrumen perundang-undangan yang mengatur penghinaan terhadap seorang individu, sehingga bukan berarti ketika pasal penghinaan Presiden tidak dimasukkan dalam RUU KUHP, berbagai bentuk penghinaan Presiden tidak bisa diproses secara hukum.
Secara
pribadi, saya yakin alasannya lebih dari itu karena beliau bukan rakyat biasa,
beliau seorang presiden. Ini mungkin salah satu jalan yang dipilihnya untuk
mendidik rakyatnya, agar demokrasi di Indonesia tidak kebablasan, sehingga
demokrasi dapat berjalan dengan sopan dan cerdas. Tapi, inilah sudut pandang
saya dengan segala kekurangan saya, selama berkecimpung dalam dunia pendidikan,
peraraturan memang perlu, tapi bertambahnya peraturan tidak menjamin
bertambahnya kualitas anak didik. Karena di mata anak didik peraturan bukanlah
sebuah benteng proteksi seperti yang pendidik pikirkan, tapi peraturan
seringkali dianggap sebagai sebuah pengekangan yang bisa saja membuat anak
didik malah menjadi brutal. Melihat anak didik yang emosinya lebih tinggi,
menurut saya, peraturan bukanlah jalan yang tepat.
Posisi anak
didik sama dengan posisi rakyat. Karena pada dasarnya, pemimpin juga merupakan
seorang pendidik bagi yang dipimpinnya. Mendidik memang bukan perkara mudah,
banyak tuntutan kesabaran di dalamnya. Karena pemimpin memang seharusnya lebih
faham daripada rakyat, semoga presiden bangsa ini bisa bersabar jauh di atas
rata-rata dalam mendidik kami.
Dalam sudut
pandang saya pribadi, jalan yang lebih tepat agar demokrasi berjalan dengan
sopan adalah dengan memberikan kinerja yang optimal. Memberikan kerja nyata dalam
usaha memakmurkan dan melindungi rakyat. Bersatu mengajarkan rakyat apa itu
demokrasi dengan tidak saling menuding, tidak tidur, tidak naik ke atas bangku,
dan tidak berkata kasar ketika rapat para pejabat negara, Insyaallah ini lebih
efektif. Kerja nyata dan Keteladanan itu lebih penting daripada hanya mengekang
dengan peraturan berupa larangan-larangan, terlebih jika itu bawa-bawa nama
kekuasaan.
Singkatnya
sih, kalau kata pak SBY, “Demokrasi juga perlu tertib,
tapi negara tidak perlu represif” (Jawa Pos, 2015)
Saya do’akan
semoga pak Jokowi menjadi pemimpin yang sabar, dihormati, dan diikuti, bukan ditakuti.