Archive

Archive for 2013

Hatiku Berkata "Ini Cinta Istimewa"

Kupikir aku lebih dekat dengan ayah
Tapi kenapa suara ibu yang terdengar pertama saat hati terasa pilu?
Kupikir bercerita pada ibu akan lebih mudah
Tapi kenapa tangan ayah begitu cepat mengelus rambutku?

Katanya, ibu itu cenderung tertib sama duit
Nyatanya, duit di celengan ibu sering pindah ke sakuku tanpa pengumuman
Katanya, ayah itu cenderung kolot
Nyatanya, darinya sering muncul tatapan kelembutan

Kurasa, aku yang paling sedih
Tapi kenapa mata ayah yang paling terlihat merah?
Kurasa, aku yang paling sakit
Tapi kenapa wajah ibu yang paling terlihat pucat?

Katanya, orang tua tidak mengerti perasaan kita anak muda
Nyatanya, mereka tersenyum manis saat aku bahagia
Katanya, orang tuaku bukan lulusan sarjana
Nyatanya, masa depanku terselamatkan oleh kata-kata mereka

Dulu, aku masih kecil
Mata mereka tak letih melihatku
Sekarang, aku sudah besar
Tak sekalipun mata mereka terlepas dari melihatku

Kelihatannya, tidak ada hari ayah di kalender
Kelihatannya, hanya ada 1 hari ibu di kalender
Sebenarnya, ayah selalu ada di hatiku
Sebenarnya, ibu tak pernah absen masuk ke hatiku

Ayah, Ibu..
Hatiku berkata “Ini Cinta Istimewa”

Terimakasih, Allah.
Semoga Engkau membalas cinta mereka dengan Cinta yang lebih agung lagi, spesial dariMU.
Karena Hanya dariMU-lah Cinta mereka berasal
Maka, hanya dariMU-lah cinta itu bisa terbalas.

Pertemuan Bertakdir



Tugas Bengkel Tulis 4
Pertemuan Bertakdir
By: Ainul Maghfirah
            Laki-laki itu bernama Sholeh. Dia adalah laki-laki berbusanakan gamis dan peci putih berhiaskan hidung mancung dan janggut tipis di dagu. Orang-orang menyebutnya Habib, Habib Sholeh. Dia cukup terkenal di desa itu. Maklum, dia putra dari seorang Habib yang sering mengisi pidato agama di berbagai acara hajatan penduduk desa. Tidak hanya itu, katanya mereka adalah keluarga dari keturunan nabi terakhir.
            Hampir semua orang di desa itu menghormati keluarga sang Habib, dari buyut hingga cicit-cicitnya, termasuk dia. Menurut mereka, kutukan tuhan akan turun jika tak sopan pada keluarga keturunan nabi terakhir itu.
            Bukan hanya perkara garis keturunan, dia juga memiliki suara yang menawan dan ilmu agama yang cukup mendalam. Suaranyalah yang terdengar dari masjid setiap adzan berkumandang. Dialah yang kerapkali menggantikan posisi ayahnya dalam suatu pengajian jika ayahnya berhalangan hadir.
            Di lain hal, dia seakan-akan tak pernah absen dari beribadah. Bukan hanya ibadah bangsa sholat saja, namun dia juga gemar bersedekah, uang seakan-akan mengalir deras ke sakunya. Membantu orang-orang yang lemah. Beberapa kali mengadakan bakti sosial yang dipimpin langsung olehnya. Dengan begitu, siapa yang berani meremehkannya? Bahkan beberapa orang yang fanatik, mengiranya 100% adalah kekasih utusan tuhan.
*****
            “Gimana caranya kaya ya? Tiap hari diuber-uber orang. Ditagih mulu! Kesel!” keluh Titin, tetangga Sholeh, dalam suatu perkumpulan ibu-ibu.
            “Kalau mau kaya, jangan pelit-pelit Tin, suamimu itu suruh sedekah! Liat tuh habib Sholeh, sedekah mulu, bukannya miskin, malah tambah kaya! Wajib tuh dicontoh!” ujar Nafisah yang gemar sekali mendengarkan ceramah habib Sholeh tentang keutamaan bersedekah.
            “Yee,, gimana mau bersedekah Fis! Hutang aja gak bisa bayar! Kalau Habib Sholeh mah sudah kaya dari awal!” protes Titin membela suaminya yang jarang sekali bersedekah.
            “Coba rutin Sholat malam dan Sholat dhuha!” Nafisah masih merujuk pada Habib Sholeh
            “Sudah! Tapi jarang-jarang sih” kata Titin ragu
            “Kalau kayak kamu sholatnya, ya susah mau dikabulin sama gusti robbi. Contoh tuh habib Sholeh! Dia sholat malamnya rutin! Makanya hidupnya bahagia” ujar Nafisah
            “Ya bedalah kita sama beliau. Beliau itu kan sudah dekat dengan gusti Allah, makanya do’anya mudah dikabulkan. Kalau kayak kita-kita ini, penuh dosa! Ya susah mau dikabulkan!” sela ibu-ibu yang lain
            Seketika pembicaraan itu berhenti saat mereka melihat Habib Sholeh ada tak jauh dari mereka. Merekapun tersenyum dan menundukkan wajah.
            “Benar kata buk Nafisah, sholat malam itu punya banyak keutamaan. Makanya saya tidak pernah meninggalkan sholat malam. Eman buk kalau ditinggalkan. Do’anya juga bisa dikabulkan lebih cepat” Habib Sholeh tersenyum lalu undur diri dari perkumpulan ibu-ibu.
            Ibu-ibu itu serentak bilang “nggih bib”
*****
Perempuan itu bernama Sinta. Dia adalah perempuan dengan rok mini superketat dan wajah berhiaskan tindikan logam di hidung dan di lidahnya. Orang-orang menyebutnya sampah, sampah masyarakat. Dia juga cukup terkenal di desa itu, bahkan dia lebih terkenal dibandingkan habib Sholeh.
Maklum, dia pelacur desa, bertugas menggoda para pria di desa. Menggoda hanya untuk beberapa lembar uang 5 dan 10 ribuan. Dia juga yang suka meminumkan bir murahan pada laki-laki tak beriman di desa itu. Baik tua maupun muda. Baik yang beristri maupun tidak. Baginya mereka sama saja, pendonor uang.
Bukan, dia bukan orang miskin. Dia orang kaya. Super kaya. Dia hanya merasa jijik memakan uang kedua orang tuanya. Dia tak sudi memakan uang haram dari ayah ibunya yang diperoleh dari menghardik orang-orang miskin di desanya, rentenir. Dia lebih merasa halal memakan uang kotor melalui jalan kotornya sendiri.
Hampir tiap hari terdengar teriakan dari rumahnya. Teriakannya, ibunya, dan ayahnya. Teriakan rutinan itu sudah seperti menjadi kaset tak terdengar oleh telinga masyarakat desa. Sudah tidak ada yang peduli. Yang jelas, mereka hanya peduli satu hal, mereka sampah masyarakat!
Beberapa kali mereka mendesak kepala desa untuk mengusir mereka dari desa. Tapi apa daya, algojo peliharaan orang tua Sinta begitu menyeramkan. Lagian, tanah di rumah itu resmi milik mereka.
Beberapa kali mereka juga berusaha melaporkan ke polisi perihal pekerjaan Sinta, namun seperti keberuntungan selalu di tangan Sinta, polisi juga tak bisa menyeretkan ke bali jeruji besi. Tidak ada bukti.
Hingga akhirnya masyarakat menyerah, dan memilih untuk mengawasi gerak-gerik suami dan anak laki-laki mereka.
*****
“Oh, jadi berzina itu dosanya besar banget ya bib?” Tanya seorang santri
“Iya. Dia harus dirajam sebanyak 40x”
“Bib, Rentenir itu termasuk riba bukan?”
“Iya”
“Wuah, gimana dengan tetangga kita yang orangtuanya adalah rentenir, sedangkan anaknya adalah pelacur?”
“Ketiga-tiganya berdosa besar. Tempat kembali yang paling tepat bagi mereka adalah neraka” Jawab Habib Sholeh mantap. “Makanya jadilah suami dan ayah yang baik nanti. Biar tidak memiliki keluarga seperti itu” 
“InsyaAllah bib, mohon do’anya”
Habib itu menganggukkan kepala lalu pergi meninggalkan santrinya yang masih menunduk.
*****
Dan malam ini mereka bertemu. Habib Sholeh dan Sinta. Sinta yang sedang bertugas dan Habib Sholeh yang baru datang bertugas.
Mobil yang ditumpangi Habib Sholeh mogok tepat di lorong kecil depan warung remang-remang tempat Sinta bertugas malam ini. Melihat mobil itu, Sinta segera keluar warung. Melepaskan pelukan laki-laki botak di sampingnya yang sedang teler dengan bir. Dia pikir, mobil itu adalah mobil pelanggan barunya yang tadi siang sudah janjian lewat telepon.
            Sinta sudah berdiri tepat di depan warung yang terbuat dari bambu. Menunggu seseorang keluar dari mobil mewah itu. Malam ini, Sinta sengaja berdandan lebih cantik setelah pelanggan barunya bilang akan bawa mobil.
            Pintu mobil itu sudah terbuka. Habib Sholeh keluar dari mobil. Sesuai nama tempatnya, warung remang-remang, tempat itu tak cukup terang untuk melihat wajah masing-masing. Namun, dari pakaian yang dikenakan laki-laki itu lengkap dengan pecinya, Sinta bisa menebak bahwa laki-laki yang baru turun dari mobil bukan orang yang dia tunggu.
            Namun, Sinta tetap tak bergeming. Dia berusaha melihat jelas wajah laki-laki itu dengan melangkahkan kakinya beberapa langkah ke depan.
            Melihat gerakan Sinta, habib Sholeh mengerutkan dahi lalu mempertajam pandangannya.
            Sekarang mata mereka bertemu. Sejenak, bumi dan langit seperti sedang berganti posisi. Akhirnya, mata keduanya saling mengenali.
            Menyadari itu habib Sholeh, Sinta bergegas membalikkan badan dan mulai melangkah kembali ke warung. Namun langkah itu terhenti saat tiba-tiba laki-laki yang baru ditatapnya memanggil nama tambahannya.
            “Heh pelacur!” Habib Sholeh berang. “Dasar tidak tahu malu! Menghancurkan moral-moral penduduk desa! Betapa banyak dosa yang sudah kamu lakukan? Parahnya, kamu juga menyeret warga desa ke dalam kubangan dosamu! Kalau mau berdosa, jangan ngajak-ngajak yang lain dong! Kamu dan keluargamu tak ubahnya syeitan yang mencari teman untuk tinggal di neraka!” umpat habib Sholeh dengan keyakinan yang menenuhi tubuhnya.
            Kata-kata itu tidak seperti angin malam yang selalu Sinta abaikan. Namun, juga tidak seperti Halilintar yang akan membakar tubuhnya.
            Hanya saja, seperti Sinta melihat cahaya turun dari langit lalu perlahan memasuki rongga tubuhnya, menghangatkan komponen-komponen tubuhnya yang sudah lama membeku. Mengaktifkan kembali sistem syaraf di otaknya. Menjernihkan matanya yang tertutup awan kelabu.
            Dia mengingat, dia melihat, apa-apa yang telah dilakukannya. Tiba-tiba saja dia merasa jijik. Perlahan air matanya turun, diapun melangkah menjauh dari habib Sholeh dan warung remang-remang itu.
            Kini, ada nama tuhan dalam pikirannya. Hatinya bergetar.
            “Maafkan aku tuhan, maafkan aku. Terima aku kembali tuhan seperti saat pertama kali kita berinteraksi. Saat aku masih terbungkus suci di rahim ibu. Terima aku tuhan” ucapnya sangat pelan dengan air mata bercucuran. Sedangkan kakinya masih melangkah gontai menyusuri lorong yang tiap malam menjadi tempat tetapnya melangkahkan kaki.
            Habib Sholeh yang tertinggal di belakang tak ambil pusing dengan sikap Sinta.
            “Syeitan Perempuan!Huh!” umpatnya sekali lagi pada Sinta yang telah menjauh
Diapun mencoba mengendarai mobilnya kembali. Seperti takdir telah menunggu adegan ini, mobil itu tiba-tiba normal kembali. Seperti habib Sholeh telah dikendalikan oleh takdir, dia mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi di lorong yang sempit dan beraspal kasar itu. Mobil itu seperti tak bermata, tiba-tiba
“Awas syeitaaaaaaan!” teriak habib Sholeh pada perempuan yang ada tak jauh dari depan mobilnya yang melaju cepat tak terkendali. Dan itu sudah terlambat.
“bruk!” Mobil Habib Sholeh menabrak keras Sinta yang sibuk dengan permohonan maafnya pada tuhan dalam langkah-langkahnya yang gontai.
Sinta, sampah masyarakat itu terlempar ke tembok yang memagari lorong itu. Satu dua, jantungnya masih berdetak. “Terima aku tuhan” ucap Sinta terbata-bata. Melihat sungai yang airnya begitu jernih dan bersih, dia menyunggingkan senyum lalu memejamkan mata dari dunia untuk selama-lamanya.
Sedangkan habib Sholeh, yang gemar beribadah itu seketika meninggal tepat setelah dia menyebut Sinta dengan sebutan Syeitan.
Sepi, tak ada yang tahu. Mungkin besok orang-orang yang melihatnya juga tetap tidak akan tahu dengan senyum Sinta dan umpatan habib Sholeh, tentang kuasa takdir yang telah membalik semuanya, tentang takdir yang tak sepihak dengan pandangan mereka.

           
           

Aku Menyerah, Tuhan

Tugas Bengkel Tulis
Aku Menyerah, Tuhan
By: Ainul Maghfirah
Katanya sih bumi ini bulat, lonjong, atau apalah. Itu kenapa bumi berputar hingga kedudukan kita kadang di atas, kadang di samping, kadang di bawah. Artinya, ada kalanya kita susah, ada kalanya biasa saja, ada kalanya senang. Kupikir itu berlaku untuk semua orang, termasuk diriku. Tapi kau tau? Sejak awal keberadaanku, aku sudah terbuang. Hingga detik ini akupun masih terbuang, bahkan semakin jauh. Andai saja bumi itu datar, aku pasti sudah sangat bersyukur. Aku tidak butuh berada di puncak, mataku sudah terlalu rabun untuk melihat ke atas langit. Tapi tak bisakah aku berhenti dari keterjatuhan yang terus menerus? Hingga bumi ini terasa begitu dalam bagiku, tak kutemui dasarnya untuk sekedar berhenti terjatuh. Oh sungguh, bumi tidaklah bulat, tapi curam!
dasar anak haram! Gak tau malu! Anak sialaaaaaaaaaan!” teriak ibu-ibu gendut yang badannya dipenuhi gemerincing emas. Aku penasaran, sebenarnya apa pekerjaan ibu galak itu. Setahuku, mataku selalu menangkapnya sedang mengipas-ngipas rambut rebonding-nya dengan kipas tangan bergambar burung Nuri. Tak pernah sekalipun aku melihatnya sibuk mengurusi sesuatu kecuali “mengurusi”ku yang tadi secara tak sengaja menjatuhkan pot bunga di pekarangan rumahnya. Apa hanya dengan mengipas-ngipas rambut bisa dapat uang untuk membeli emas semeriah itu?
Yeah, aku anak haram. Ntah apa maksudnya, yang jelas aku ditolak oleh orang yang telah berbaik hati melahirkan diriku ke bumi curam ini. Kau tahu? Sebutan anak haram begitu menarik di Kampung ini. Buktinya, gara-gara sebutan itu, hampir semua orang kampung mengenalku, padahal aku sendiri tak pernah berkenalan dengan mereka. Uniknya, gara-gara sebutan anak haram ini jugalah, muncul sikap-sikap kontradiktif warga kampung padaku. Ada yang melirikku iba, memberiku beberapa uang recehan atau sekedar kacang bungkus. Ada juga yang menatapku jijik, mengumpatku dengan nama-nama hewan yang berkeliaran di sekitar kampung kami.
Kau tahu? akulah satu-satunya penyandang sebutan anak haram di kampung ini. kau pasti heran siapa yang memberiku makan hingga aku bisa hidup sampai saat ini. Tidak, aku tidak tinggal di tempat penitipan anak, aku tinggal di rumah bapak tua yang kupanggil kakek. Dialah yang memberiku makan tiap hari sekali. Dialah yang mengatakan bahwa bumi ini bulat. Namun, seminggu yang lalu dia telah memutuskan untuk pindah rumah, untuk ikut menjauh dariku, parahnya, dia lebih memilih kuburan daripada rumahnya yang kami tempati selama ini. Mungkin karena diapun juga sudah mau muntah tinggal bersamaku, si anak haram.
Aku masih ingat kata-kata terakhirnya sebelum dia memutuskan pindah rumah. “seburuk apapun keadaanmu, jangan pernah bersedih. Bersyukurlah atas hidup yang telah tuhan berikan padamu. Jadilah hamba yang taat, dan jangan sekali-kali melanggar aturan. Begitulah cara agar kamu bisa bahagia kelak”
Hah?! Bersedih? Bersyukur? Bahagia? Kelak? Bukankah semuanya hanya omong kosong! Apa itu bersedih? Kapan aku bersedih? Bukankah aku tidak pernah tahu menahu tentang istilah “bahagia”? lalu bagaimana caranya aku bersedih? Aku tidak punya waktu untuk bersedih, bukankah aku sudah cukup sibuk dengan licinnya bumi-nya yang bulat ini? bahkan tanpa alas kaki, bagaimana mungkin aku tak meluncur ke bawah?
Dengan begitu, aku ingin ketawa. Bagian mana dari proses meluncur tak berujung ini yang harus aku syukuri? Bukankah bersyukur hanya untuk mereka yang pernah bahagia? Sungguh aku ingin tertawa sekeras-kerasnya hingga seluruh ruang bumi mendengar tawaku. Kenapa aku harus bersyukur hanya gara-gara aku hidup?!!! Bukankah seharusnya aku menuntut karena telah hidup di dunia?!
Aku heran, kenapa kakek itu selalu menjanjikan kebahagian kelak? Bukankah hari ini adalah kelak dari kemaren? Bukankah kemaren adalah kelak dari kemaren lusa? Nyatanya, kemaren lusa aku kelaparan di pagi hari, kemaren uang hasil mengamenku dirampas preman, dan hari ini aku mendapat umpatan dari ibu-ibu ber-emas itu, bahkan dengan sebutan tambahan “anak sialan!”. Lalu kapan kelak itu? Aku sudah bosan dengan janji-janji palsunya! Bodoh sekali, aku sempat mempercayai janji itu hingga beberapa kali aku mencoba tersenyum, hingga berkali-kali aku rela mengamen sana sini tanpa alas kaki. Tapi apa yang kudapatkan? Bukankah selama ini aku tak pernah makan lebih dari 1x dalam sehari? dan bajuku hanya 2 potong, hingga tiap baju aku pakai selama 3 hari. Parahnya, jika hujan datang pada hari kedua, aku harus kedinginan karena tak bisa berganti baju. Bahkan di rumahnya pun aku tak bisa berlindung dari hujan.
sana pergi! Bikin kotor beranda toko aja!” seseorang yang wajahnya begitu rupawan dengan rambut cepaknya mengusirku yang sedang berlindung dari hujan di beranda tokonya sehabis mengamen. Aku bingung, bagaimana bisa aku membuat tokonya kotor? Tidak ada sampah yang ku bawa. Bajuku bahkan baru diganti tadi pagi, rambutku sudah aku ikat ke belakang, kencrengan yang ku bawa juga tidak karat-karat amet. Ah jangan-jangan dia juga tahu kalau aku adalah anak haram. Pernah suatu hari pembantu rumah tangga tetangga sebelahku saat membeli sayur ke pak mamat di depan rumah tumpanganku melirik sadis padaku lalu berkata pelan namun jelas terdengar “gerobaknya pindah di depan rumah buk Ayu aja pak, di sini ada anak kotor, jijik pak” hah! Berani sekali dia bicara begitu, bukankah dia hanya sekedar pembantu? Aku jadi berpikir, anak haram ternyata jauh lebih rendah dibandingkan pembantu rumah tangga.
Tapi yang paling membuatku bingung adalah gadis kecil bergaun putih bak putri salju yang baru turun dari sedan bersama supirnya tepat setelah aku mendapat umpatan gratis dari ibu-ibu gendut itu. Dia sering sekali berkunjung ke rumah ibu gendut itu, yang kutahu dia adalah putri dari kepala kampung. Ku dengar dari kakek, dia juga tak beda jauh dariku, dia juga ditolak oleh orang yang melahirkannya ke bumi, lalu anak itu dipungut oleh kepala kampung. Menurutnya, Semua orang kampung juga tahu tentang informasi ini. Tapi sekalipun tak pernah ku dengar orang-orang di sini menyebut kata-kata anak haram selain padaku. Kenapa? Bukankah dia juga berhak menyandang sebutan itu? Sebaliknya, semua orang selalu tersenyum manis saat bertatap mata dengannya, menyebutnya dengan kata-kata nduk, nak, sayang, neng dan panggilan layak lainnya. Bahkan ibu-ibu gendut itu dengan sigap membersihkan pot bunga lainnya yang terserempet oleh ban sedan si putri salju. Ku tunggu beberapa detik, menit, menunggu umpatan apa yang akan keluar dari mulut lebarnya pada si putrri salju, atau setidaknya pada si supir. Namun sungguh di luar dugaan, kepala ibu gendut itu malah menoleh ke arahku yang masih tak beranjak dari pekarangan rumahnya. “heh! Anak sialan! Ngapain masih di situ??!!!! Pergi pergi! Husssh!”
Sungguh tidak adil. Ban sedan yang menyerempet pot bunganya yang lain, kenapa juga harus aku yang mendapatkan umpatan untuk pot itu? Pot pertama, aku bisa terima, karena memang salahku. Pot yang kedua? Jelas aku tidak bisa terima. Itu salah ban sedan si putri salju! Kenapa bukan dia saja yang dimaki?!
Oh kakek, apa kau berbohong lagi padaku tentang anak pak kampung yang tak jauh beda dariku itu? Tidak mungkin dia sama denganku, atau orang-orang belum tahu informasi itu? Ah sudahlah, aku bosan percaya pada kakek. Semua perkataannya selalu berkebalikan dengan kenyataan.
Benar kata-kata Lisa, teman mengamenku dari kampung lain. “kalau kamu ingin bahagia, jadilah orang kaya. Kalau kamu ingin dihormati, jadilah orang kaya. Kalau kamu ingin dikelilingi oleh banyak teman, jadilah orang kaya. Orang berduit itu bisa membeli semuanya sil! begitulah kata kakekku, tapi kalau kerjaannya cuma ngamen gini, gak usah mimpi jadi orang kaya deh, alias harus ikhlas hidup tanpa semuanya itu! hahahaha” celetuknya suatu hari saat aku sebal sama pembantu rumah tangga genit itu.
Bahagia sekali hidup Lisa, biar miskin, tapi dia punya kakek yang jujur. Tidak seperti kakekku yang penuh dengan kepalsuan. Biar hatiku lebih membenarkan kata-kata kakekku, tapi aku tetap saja lebih menerima kata-kata kakeknya. Kita hidup di dunia nyata kan? Begitulah kenyataannya.
Mungkin sekarang saatnya aku berubah, saatnya aku mengambil semuanya. Apalagi yang lebih menyedihkan selain dimaki-maki orang? Selain menjadi buangan semua orang? Kalau ngamen tidak bisa membuatku kaya, maka aku bisa curang pada dunia, bukankah dunia juga curang padaku? Jangan berbicara tentang jalan yang lurus, jalan lurusku terlalu licin, bukannya sampai tujuan, aku bisa mati duluan.
*****
Sudah 2 tahun aku mengubah jalan hidupku. Beginilah keadaanku sekarang. Kemana-mana naik sepeda matic lengkap dengan helm. Sehari aku bisa makan 2x, bahkan kalau mau, aku bisa makan sampai 3x. Tak ada yang perlu aku khawatirkan. Uang menumpuk di saku, aku bisa beli buah apel segar tiap hari di tempat bergengsi. Mengenai bajuku, haha, bukan lagi 2 potong, tapi berpotong-potong. Aku bisa ganti baju tiap hari, kalau mau, bukan hanya sekali, dalam sehari aku bisa ganti baju berkali-kali. Aku pun bisa berlindung dari air hujan di rumah baruku, di rumah yang layak untuk ditempati manusia. Temanku? Banyak sekali. Hidupku bergelimang dengan pujian. Pujian dari banyak laki-laki.
Mengenai nasib Lisa, aku sudah tidak tahu lagi. Sejak aku memutuskan berubah, sama sekali tidak terbersit keinginan untuk mengajak siapapun. Aku ingin menikmati hidup sendiri. Terlebih ibu-ibu gendut ber-emas itu, mungkin emas-nya sekarang sudah bertambah sekitar 10-15 gram. Siapa peduli? Toh aku juga sudah bisa beli apa yang dia beli. Aku benar-benar telah meninggalkan hidup tak terhormat itu tanpa menyisakan secuilpun. Sekaligus meninggalkan semua kebohongan yang dilontarkan kakekku kecuali tentang kebulatan bumi. Sekarang aku mempercayainya. Aku sudah berganti kedudukan bukan? Aku sudah berada di atas.
Tapi hari ini, apa yang kuperoleh membuatku tercengang. Menohok bagian terdalam dari diriku (bisa jadi itu hati, aku sudah lupa dengan nama organ tubuhku itu) seperti aku terlempar dari tempat tertinggi ke tempat terendah, lebih rendah dari tempatku terjerembab 2 tahun yang lalu. Membuat mataku terbelalak.
iblis! Perempuan hina! Tega-teganya kamu menghancurkan hidup kami! sekali lagi kamu berani mendekati suamiku, aku bunuh kamu!!!!” teriak perempuan paruh baya padaku. Perempuan paruh baya yang mengaku-ngaku sebagai istri dari salah satu pelangganku, om botak itu. Dengan bengis dia mencekik leherku, tak peduli mulutku mengap-mengap kehabisan napas, dia semakin semangat mencekikku. Kau lihat matanya? Ada bayang seorang pembunuh di sana. Namun tanpa ku minta, akhirnya dia melepas tangannya dari leher jenjangku lalu pergi setelah menampar keras pipi kananku.
Aku tersungkur tak berdaya di depan pintu rumah “layak”ku ini. Ku lihat orang-orang yang berlalu lalang di depan rumahku saling berbisik, ntah berbisik apa, yang jelas dari ekspresi wajah mereka, aku yakin mereka sedang memakiku.
Jadi kamu si pelacur itu??! Pengganggu suami-suami orang lain. Dasar emang anak sialan! Bukan Cuma anak haram, tapi kamu juga perempuan haram! Darah ibumu benar-benar mengalir dalam darahmu! Najis! Menjijikkan!” seseorang tiba-tiba menjambak rambutku dengan kecepatan tinggi. Sungguh rasanya semua helai rambutku tercabut dari kepalaku. Ku dongakkan kepala, tidak kuduga, dia adalah ibu-ibu gendut ber-emas itu. Ada urusan apa lagi dia denganku? Aku bahkan tidak pernah memeras suaminya. Jangan-jangan dia adalah teman perempuan yang mencekikku tadi. Ah aku tidak peduli. Apapun alasan dia menghinaku lagi, yang jelas kata-katanya jauh lebih menyakitkan dibandingkan 2 tahun yang lalu.
Perempuan hina!” katanya lagi, lalu pergi setelah mendorong kepalaku ke pintu. Oh tuhan, kenapa hidupku jadi seperti ini? bahkan lebih parah dari dulu saat aku masih makan 1x dalam sehari, saat orang-orang hanya memanggilku anak haram, anak sialan, dan anak kotor saja. Sebegitu bencikah kau padaku tuhan?
Kuputuskan untuk tetap diam di depan pintu, menatap kosong pekarangan rumahku yang begitu elok dengan aneka warna bunga.
hahaha, makanya jadi cewek jangan kemaruk!” Indah dan beberapa teman se-profesiku tiba-tiba ada di depanku. Cara mereka menertawaiku, aku mengerti. Merekalah yang memberikan info pada kedua ibu-ibu yang menghinaku tadi. Dasar bodoh! selama ini mataku buta, buta oleh banyaknya jumlah teman. Baru ku sadari, ternyata mereka palsu. Mereka mengkhianatiku. Kemaruk? Jadi mereka iri padaku? Hah! “Lisa, di mana kamu?” ucapku pelan pada udara, meneteskan bulir-bulir air mata yang kurasakan begitu perih. Apa yang telah aku lakukan?
kakek, apakah perkataanmu benar adanya?” tiba-tiba aku teringat pada semua kata-kata kakek yang kuanggap hanya omong kosong.
*****
“Jadilah hamba yang taat, dan jangan sekali-kali melanggar aturan. Begitulah cara agar kamu bisa bahagia kelak” huufht, tuhan, itu perkataan kakekku. Hatiku membenarkan, namun mataku begitu ragu, bahkan ragaku menolaknya. Aku telah melanggar peraturan tuhan. Terbuktilah kebenaran kata-kata kakek, aku menjadi semakin jauh dari kebahagiaan.
“Tuhan, aku menyerah. Aku akan taat padamu. Aku menyerah menyombongkan diri. Aku menyerah tuhan, jangan hukum aku lagi” ku rendahkan kepalaku sejajar dengan lantai kamarku, bulir-bulir air mataku merembes tak terbendung. Sedikit kurasakan ketenangan dan ketakberdayaan memenuhi rongga batinku. Sudah kuputuskan, aku akan menyerahkan segalanya, pada tuhan.

Cerita 2 Minggu Sebelum Wisuda



Tugas Creative Writing 3
Cerita 2 Minggu Sebelum Wisuda
By: Ainul Maghfirah
Akhirnya bisa mencium aroma tanah pekarangan rumah setelah 2 bulan merantau di kota perjuangan. Maklum, aku bukan santri jaman dulu yang katanya sih paling betah ngelmo di pesantren. Ibu bapakku juga bukan orang orang tua jaman dulu yang dengan tegas melarang anaknya pulang kampong sebelum jadi “orang”. Aku dan mereka sama-sama tidak bisa menahan rindu yang berkepanjangan. Paling lama 2 bulan lah kami bisa menahan rindu. Untungnya, Pesantren tempatku menyantri bukanlah pesantren dengan aturan super ketat. Kami bahkan mendapat jatah 1x pulang kampong dalam sebulan.
Sepertinya ibu dan bapakku belum tidur, suara tivi dari ruang depan sayup-sayup terdengar olehku. Kalau ibu belum tidur, aku penasaran melihat ekspresi wajah ibuku yang super baik itu kalau melihatku ada di depan pintu. Terbayang, aku mengetuk pintu, ibu membuka pintu lalu melihatku berdiri di depan pintu, wajah ibuku Nampak tenang, tapi setelah itu..
“sholeh? Kok datangnya jam segini nak? KENAPA NGGAK JAM 12 MALAM AJA SEKALIAN NGGAK TAK BUKAKAN PINTU KAPOK!!”
Hahah, pasti adegan nyatanya lebih serem. Biasanya bahuku ditepuknya keras-keras. Itu gaya ibuku kalau lagi gregetan sama anak-anaknya. Gaya yang semakin membuatku merasa dekat layaknya teman.
Sebelum membuat ibuku terkejut dengan kedatanganku yang tepat pada pukul 9 malam ini, yang dalam ukuran desaku sudah sangat sepi, aku ingin menyapa satu-satunya pohon bunga kesayangan ibuku yang dua bulan lalu masih terlihat begitu gagah dengan duri-duri tajam di tangkainya , begitu berkobar dengan warna merah pada kelopak bunganya, dan bersandar manja ke dinding rumah yang tak berkulit. Ku melangkah menuju samping kiri rumahku yang menghadap ke barat. Aha, sepertinya rumahku baru direnovasi, dindingnya sudah dikuliti dengan semen dan bercat kuning gelap. Selain itu, sinar lampu neon 5 watt yang ada tepat di bagian tengah atap di atas teras rumah semakin menambah elok pemandangan rumahku bagian luar. Terlebih, adanya sekelompok pot berbunga yang mengelilingi tepi teras. Ah kalau seperti ini, kemungkinan besar aku semakin betah di rumah. Kembali ke tujuan semula, ku arahkan mataku ke pot bunga yang berada di pojok kiri teras.
“lho” mataku jadi was-was melihat pohon bunga itu tak lagi di situ. Mungkinkah ibu memindahkannya ke dalam rumah karena takut dicuri orang? Rasa-rasanya sih tidak mungkin. Lebih tidak mungkin lagi kalau dijual. Ibuku anti jual tanaman bunga. Apapun, semoga bukan mati penyebabnya.
*****
“assalamu’alaikum” aku mulai mengetuk pintu sembari menyiapkan diri menerima serangan dari ibu.
“wa’alaikumussalam” terdengar suara berat dari dalam rumah dan suara hentakan kaki yang semakin mendekat kea rah pintu. Jelas itu bapakku. Jangan-jangan ibu sudah tidur. Kalau ibu sudah tidur dan hanya bapak yang masih bangun, aku tak perlu bersiap-siap. Karena bagi beliau, anak laki-laki pulang malam itu bukan masalah, yang penting tidak mencuri atau mabuk-mabukan seperti samin tetangga sebelah.
Pintu sudah terbuka, dan memang benar hanya ada bapakku. Ku salami tangannya. Sepertinya aku sudah terlalu lama tidak pulang. Buktinya rasa  rindu saat mencium tangannya meluap begitu hebat. Andai saja bapakku tipe orang yang romantis, pasti sudah aku peluk.
“ibu dan adek-adekmu menginap di rumah bulekmu, nenekmu sakit lagi” bapak memperkecil suara tivi yang sedang menayangkan Gajah Mada.
Ku tahan rasa penasaranku tentang raibnya pohon bunga kesayangan ibu di pojok kiri teras itu. Suasana seperti ini, ditambah dengan bapak memperkecil suara tivi, biasanya pertanda beliau akan mengajakku berbincang-bincang atau bercerita tentang sesuatu.
Ku lepas tas ranselku yang berisi beberapa sarung dan baju koko lalu meletakkannya di samping bapakku duduk menonton tivi. Untuk menghilangkan haus seharian dalam perjalanan Jogja-Probolinggo, ku meneguk air minum yang sudah dituangkan oleh bapak dari teko hijau berukuran sedang. Selanjutnya, aku segera bersila di depan bapak bersiap mendengar pembicaraan beliau yang biasanya selalu penting dan bermanfaat.
“nak” beliau mulai bicara lagi. “dulu, bapak punya teman istimewa di SMA. Dibilang istimewa, karena dia memiliki banyak kelebihan dibandingkan yang lain. Kulitnya putih bersih, banyak adek kelas yang menyukainya. tak pernah kekurangan uang seperti bapak dan yang lain, pintarnya jempolan. Apalagi dalam pelajaran biologi. Tak jarang guru-guru kami memujinya. Perkiraan bapak, dia memiliki masa depan yang cerah. Benar, setelah lulus, dia diterima di kedokteran UNAIR. Pernah suatu hari, saat dia dan teman-temannya mengadakan penyuluhan kesehatan di desa kita, bapak melihat dia memakai jas almamater UNAIR. Subhanallah, tambah bersih, tambah ganteng. Gagah. Lalu, sepulang bapak dari mengantar kamu nyantri di jogja, bapak dapat info dari saudara jauhnya yang tinggal di sini, katanya dia telah menjadi dokter spesialis jantung yang cukup terkenal. Sempat, selain kagum, ada rasa iri yang menyembul di hati jika melihat bapak yang tak sempat jadi mahasiswa. Untungnya, rasa iri itu segera menghilang tergantikan oleh prestasi-prestasi kalian” bapak menghela napas. Aku sendiri menerka-nerka ke mana arah sebenarnya dari pembicaraan yang tidak bisa ditunda ini sampai besok untuk sekedar melepas rasa payahku.
“dua hari yang lalu” bapak kembali melanjutkan ceritanya. “bapak dengar dia meninggal, jelasnya bapak kaget. Ternyata seorang dokter spesialis jantung yang sudah terkenal juga meninggal” bapak menatap mataku, aku yang ditatap mengernyitkan dahi tak mengerti. Semua orang memang akan mati kan? Tidak ada yang aneh.
“sehari setelah itu, ada pengumuman dari masjid kalau pipin, kumbang desa, telah meninggal. Lucunya, tadi sore ada berita di tivi bahwa pengusaha kaya dari medan saat makan malam bersama keluarganya” lagi-lagi, bapak menatapku. Aku masih saja pasang tampang bingung.
Sepertinya bapak faham kalau aku belum bisa menangkap inti dari ceritanya kali ini. Lalu beliau melanjutkan “bapak jadi berpikir, apa yang sebenarnya hidup ajarkan kepada kita? Dokter, mati. Kumbang desa, mati. Pengusaha kaya-pun mati. Tak beda dengan kita yang mungkin bisa dikatakan kalangan biasa-biasa saja, ujung-ujungnya ya mati” bapak mulai memperbesar lagi suara tivi tanda bahwa cerita ini sudah berakhir. Kebetulan acara di MNC sudah berganti Kian Santang, film favorit bapakku.
            Aku? Mungkin karena lelah atau masih penasaran sama pohon bunga kesayangan ibu itu, pikiranku belum bisa menangkap maksud bapak. Aku meneguk lagi sisa air dalam mug yang tadi separuhnya sudah aku teguk. Mungkin besok saja aku pikirkan lagi, sekarang aku fokus dulu sama seni ksatria yang ditunjukkan oleh raden Kian Santang dan prabu Siliwangi. Tak heran kalau bapak menyukainya, biar sedikit ngaco, inilah film yang mengingatkan kita kembali ke jaman non teknologi. Di samping itu, cukup banyak hikmah yang disampaikan dalam film ini. Misalnya saja, dakwah yang disampaikan raden Kian Santang tentang larangan syirik, secara tak langsung itu juga dakwah kepada kita sang penonton.
            Sesekali aku membayangkan kita memiliki kesaktian seperti prabu Siliwangi. Mungkin kita bisa lebih hemat kalau ada perang. Gak perlu beli senjata sih, tinggal keluarkan saja tenaga dalam, sekali wuzz langsung mati deh semuanya. Hahah
            “sudah larut, kalau sudah sholat di perjalanan, langsung istirahat saja biar badanmu gak lemes. Besok pagi kamu bisa jemput adek-adekmu buat sekolah” bapakku beranjak dari tempatnya duduk dan menuju pintu depan untuk memeriksa keamanan rumah. Hal ini biasa bapak lakukan, beliau termasuk orang yang teliti dan kritis.
            nggih pak” jawabku mengiyakan saran bapak sembari mematikan tivi. Ku bawa tas ranselku yang tidak terlalu berat itu menuju kamar pribadiku. Sejak aku lulus SMA, aku sudah punya kamar pribadi. Aku sudah dianggap cukup dewasa di rumah ini.
            Sudah dua bulan kamar ini tidak ku tempati. Namun lantainya masih bersih kinclong. Kalau aku tidak sedang di rumah, biasanya ibu yang rajin tiap hari membersihkan kamarku dibantu dengan 2 bidadari kecilku, Ifa dan Hanun. Ranjang tempatku tidur juga tertata rapi. Ada 2 bantal yang terletak sebaris, lalu di atasnya ada satu bantal guling berwarna biru. Di samping tempat tidurku ada meja belajar lengkap dengan kursinya. Satu kamus bahasa Arab-Indonesia milikku tergeletak agak miring di sana, ada selipan kertas putih, sepertinya baru saja dipakai. Mungkin si Hanun yang pinjam, katanya sih dia sekarang juga kursus bahasa arab di Paiton.
            Ku mendekati kaca yang menempel di dinding samping kiri pintu. Wuah, inilah wajah asliku di titik nol. Mata merah akibat angin perjalanan mungkin dan sedikit kusam yang kuyakini karena peran aktif debu-debu perjalanan. Mungkin sebaiknya aku basuh dulu dengan air wudhu’ sebelum tidur. Ini praktek dari slogan kebersihan adalah sebagian dari iman.
            Air di sini dan di Jogja terasa beda sekali, di sini lebih seger. Maklum, di jogja aku nyantri di daerah perkotaan sambil kuliah, jadi airnya tidak lebih segar dari air yang bersumber dari tanah desaku, sumberan. Ah sekali lagi, ibu dan adek-adekku memang paling getol mempraktekkan slogan kebersihan tadi. Bahkan dalam bak mandi ini, tak kutemukan satu plankton pun yang hidup di sana, lantainya kesat, WC-nya bersih putih, dan satu lagi, wangi. Aku bersyukur sekali punya 3 bidadari itu. Biar kata rumahku sederhana, tapi kalau rapi dan bersih gini, aku jadi sangat betah. Ngomongin mereka, rasa rindu ini semakin menyeruak saja.
            Tak baik jika berlama-lama di kamar mandi, kamar mandi termasuk salah satu dari 3 tempat yang paling tidak disukai Allah dan paling disukai syeitan. Ku segera bergegas keluar dari kamar mandi, tak menoleh lagi, aku langsung menuju kamar. Tujuanku kali ini benar-benar hanya satu, tidur. Sholat isya’ sudah aku lakukan jama’ di Masjid Jami’ Kraksaan tadi.
*****
            Cerita bapak tadi masih bergentayangan dalam pikiranku. Mataku-pun ikut-ikutan on. Tidak bisa tidur. Mataku malah melirik-lirik alqur’an terjemah yang sebelum beranjak ke ranjang ku keluarkan dari ransel hitam dan ku letakkan tepat di atas kamus bahasa Arab-Indonesia-ku. Ku putuskan untuk mengambilnya saja, toh aku masih punya wudhu’.
Tanganku berhenti membolak-balikkan alqur’an di surat al-anbiya’ ayat 35.
            Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan”
            Begitulah isi dari terjemahan ayat ke-35 dari surat al-anbiya’ itu. Seperti dicolek harimau, hatiku bergidik. Tanganku juga perlahan bergetar. Mati memang selalu menjadi hal yang menyeramkan. Karena setelah mati, kita tidak bisa berbuat apa-apa, hanya mengandalkan amal selama hidup di dunia. Kalau amal yang dikerjakan selama hidup di dunia tak cukup untuk membeli syurga, maka habislah sudah di neraka. Tak ada kesempatan kedua untuk berusaha lagi. Tapi urusan mati, tak perlu terlalu ditakutkan, takut atau tidak, kita tetap akan mati, yang penting berbuat sebagaimana mestinya di dunia.
            Sebenarnya bukan itu yang membuatku bergidik, tapi kalimat kedua dan ketiga yang cukup cetar membahana ku pikir. Bagaimana tidak, di situ dijelaskan keburukan dan kebaikan adalah ujian, sedangkan aku selalu lalai terhadap keduanya, terutama dengan kebaikan.
*****
            “Mas sholeh? Kapan yang pulang?” Hanun berbinar-binar saat tahu yang jemput dia adalah mas-nya yang sudah 2 bulan tak pulang ini.
            Beda lagi dengan ibu, sepertinya beliau punya ilmu ladunni, langsung tahu  kalau aku sudah sampai di rumah tadi malam. Tapi untuk tepatnya jam berapa, beliau tetap tidak tahu. Buktinya tidak ada ekspresi kaget di wajah beliau.
            “salim dulu sama nenekmu, beliau sudah baikan, abis itu langsung makan, baru segera bawa pulang adek-adekmu” subhanallah, ibu memang serba lengkap. Satu kalimat untuk keseluruhan pesan.
            nggih buk” jawabku pelan disertai anggukan dan senyuman
*****
            “mas, sudah tahu belum? Mas Pipin si kumbang desa meninggal sekitar 4 hari yang lalu, Hanun cukup heran mas”
            “Innalillah, heran kenapa nun?” tanyaku sambil tetap fokus menyetir sepeda motor
            “soalnya dia masih muda mas, orang paling ganteng se-desa lagi!”
            “namanya mati gak kenal tua muda atau jelek ganteng, malah banyak orang meninggal saat masih bayi kan?” balasku tanpa merasa heran sedikitpun.
            “kalau sudah mati, gantengnya gak fungsi ya mas? Kalau aku mahromnya, sudah aku dorong dia buat jadi ustad. Denger-denger sih ilmu agamanya cukup tinggi lho mas, wajahnya elok lagi. Tinggal pernakin hatinya aja. Setahuku, da’I itu bukan hanya butuh keindahan batin, tapi juga butuh keindahan fisik biar orang semakin tertarik. Misalnya aja Rosululllah, indah hatinya, indah fisiknya. Iya kan mas? Tapi sayang, dia gunakan kegantengannya di jalan yang salah. Masak tiap minggu ganti cewek mas. Cewek-ceweknya suka pakek rok mini lagi! Hih kayak di kota aja.  Gak nyambung banget pokoknya mas sama desa kita. Parahnya, dia meninggalnya pas saat sedang berduaan dengan pacarnya di hotel. Ih serem ya mas? Eman sama gantengnya” Hanun mengungkapkan kekecewaannya panjang lebar dengan suara agak keras mengingat kami sedang di atas sepeda motor. Sesekali aku buka kaca helm-ku agar bisa mendengar omongannya.
            “Hush, kita juga tidak tahu nanti kita matinya seperti apa. Istighfar gih!” saranku padanya yang sudah sok-sok-an jelek-jelek-in almarhum Pipin.
            “mas, agak cepat ya? Ifa takut terlambat” Ifa yang paling anti bicara di atas kendaraan akhirnya bersuara. Ini tandanya dia sedang mengirim signal seperti ini “ngomongnya nanti aja deh mas mbak, ini lagi di kendaraan loh! Rame lagi! Mana telingaku sakit denger kalian teriak-teriak!” hahaha.. oke let’s Foccus.
*****
            Tugas pertamaku hari ini mengenai kedua adekku sudah selesai. Saatnya menggantikan tugas ibu di rumah. Bersih-bersih. Tapi bentar, “Eman sama gantengnya”??
Subhanallah, jadi mungkin inikah yang menjadi inti dari cerita bapak tadi malam? bukan masalah mereka yang pintar, ganteng, atau kaya. Namun terlebih padaku yang 2 minggu lagi akan bergelar S.Si?
“Bapakku.. gelar S.Si, InsyaAllah akan kugunakan pada tempatnya untuk ku petik manfaatnya saat diri telah berkalang tanah, terimakasih bapak” ucapku dalam hati manatap hormat pada bapakku yang sedang bersiap-siap berangkat ke sawah.