Tugas Creative Writing 3
Cerita 2 Minggu Sebelum Wisuda
By: Ainul Maghfirah
Akhirnya bisa mencium aroma tanah pekarangan rumah setelah 2 bulan
merantau di kota perjuangan. Maklum, aku bukan santri jaman dulu yang katanya
sih paling betah ngelmo di pesantren. Ibu bapakku juga bukan orang orang
tua jaman dulu yang dengan tegas melarang anaknya pulang kampong sebelum jadi
“orang”. Aku dan mereka sama-sama tidak bisa menahan rindu yang berkepanjangan.
Paling lama 2 bulan lah kami bisa menahan rindu. Untungnya, Pesantren tempatku
menyantri bukanlah pesantren dengan aturan super ketat. Kami bahkan mendapat
jatah 1x pulang kampong dalam sebulan.
Sepertinya ibu dan bapakku belum tidur, suara tivi dari ruang depan
sayup-sayup terdengar olehku. Kalau ibu belum tidur, aku penasaran melihat
ekspresi wajah ibuku yang super baik itu kalau melihatku ada di depan pintu.
Terbayang, aku mengetuk pintu, ibu membuka pintu lalu melihatku berdiri di
depan pintu, wajah ibuku Nampak tenang, tapi setelah itu..
“sholeh? Kok datangnya jam segini nak? KENAPA NGGAK JAM 12 MALAM
AJA SEKALIAN NGGAK TAK BUKAKAN PINTU KAPOK!!”
Hahah, pasti adegan nyatanya lebih serem. Biasanya bahuku
ditepuknya keras-keras. Itu gaya ibuku kalau lagi gregetan sama anak-anaknya.
Gaya yang semakin membuatku merasa dekat layaknya teman.
Sebelum membuat ibuku terkejut dengan kedatanganku yang tepat pada
pukul 9 malam ini, yang dalam ukuran desaku sudah sangat sepi, aku ingin
menyapa satu-satunya pohon bunga kesayangan ibuku yang dua bulan lalu masih terlihat
begitu gagah dengan duri-duri tajam di tangkainya , begitu berkobar dengan
warna merah pada kelopak bunganya, dan bersandar manja ke dinding rumah yang
tak berkulit. Ku melangkah menuju samping kiri rumahku yang menghadap ke barat.
Aha, sepertinya rumahku baru direnovasi, dindingnya sudah dikuliti
dengan semen dan bercat kuning gelap. Selain itu, sinar lampu neon 5 watt yang
ada tepat di bagian tengah atap di atas teras rumah semakin menambah elok
pemandangan rumahku bagian luar. Terlebih, adanya sekelompok pot berbunga yang
mengelilingi tepi teras. Ah kalau seperti ini, kemungkinan besar aku
semakin betah di rumah. Kembali ke tujuan semula, ku arahkan mataku ke pot
bunga yang berada di pojok kiri teras.
“lho” mataku jadi was-was melihat pohon bunga itu tak lagi di situ.
Mungkinkah ibu memindahkannya ke dalam rumah karena takut dicuri orang?
Rasa-rasanya sih tidak mungkin. Lebih tidak mungkin lagi kalau dijual. Ibuku
anti jual tanaman bunga. Apapun, semoga bukan mati penyebabnya.
*****
“assalamu’alaikum” aku mulai mengetuk pintu sembari menyiapkan diri
menerima serangan dari ibu.
“wa’alaikumussalam” terdengar suara berat dari dalam rumah dan
suara hentakan kaki yang semakin mendekat kea rah pintu. Jelas itu bapakku.
Jangan-jangan ibu sudah tidur. Kalau ibu sudah tidur dan hanya bapak yang masih
bangun, aku tak perlu bersiap-siap. Karena bagi beliau, anak laki-laki pulang
malam itu bukan masalah, yang penting tidak mencuri atau mabuk-mabukan seperti
samin tetangga sebelah.
Pintu sudah terbuka, dan memang benar hanya ada bapakku. Ku salami
tangannya. Sepertinya aku sudah terlalu lama tidak pulang. Buktinya rasa rindu saat mencium tangannya meluap begitu
hebat. Andai saja bapakku tipe orang yang romantis, pasti sudah aku peluk.
“ibu dan adek-adekmu menginap di rumah bulekmu, nenekmu sakit lagi”
bapak memperkecil suara tivi yang sedang menayangkan Gajah Mada.
Ku tahan rasa penasaranku tentang raibnya pohon bunga kesayangan
ibu di pojok kiri teras itu. Suasana seperti ini, ditambah dengan bapak
memperkecil suara tivi, biasanya pertanda beliau akan mengajakku
berbincang-bincang atau bercerita tentang sesuatu.
Ku lepas tas ranselku yang berisi beberapa sarung dan baju koko
lalu meletakkannya di samping bapakku duduk menonton tivi. Untuk menghilangkan
haus seharian dalam perjalanan Jogja-Probolinggo, ku meneguk air minum yang
sudah dituangkan oleh bapak dari teko hijau berukuran sedang. Selanjutnya, aku
segera bersila di depan bapak bersiap mendengar pembicaraan beliau yang
biasanya selalu penting dan bermanfaat.
“nak” beliau mulai bicara lagi. “dulu, bapak punya teman istimewa
di SMA. Dibilang istimewa, karena dia memiliki banyak kelebihan dibandingkan
yang lain. Kulitnya putih bersih, banyak adek kelas yang menyukainya. tak
pernah kekurangan uang seperti bapak dan yang lain, pintarnya jempolan. Apalagi
dalam pelajaran biologi. Tak jarang guru-guru kami memujinya. Perkiraan bapak,
dia memiliki masa depan yang cerah. Benar, setelah lulus, dia diterima di
kedokteran UNAIR. Pernah suatu hari, saat dia dan teman-temannya mengadakan
penyuluhan kesehatan di desa kita, bapak melihat dia memakai jas almamater
UNAIR. Subhanallah, tambah bersih, tambah ganteng. Gagah. Lalu, sepulang bapak
dari mengantar kamu nyantri di jogja, bapak dapat info dari saudara jauhnya
yang tinggal di sini, katanya dia telah menjadi dokter spesialis jantung yang
cukup terkenal. Sempat, selain kagum, ada rasa iri yang menyembul di hati jika
melihat bapak yang tak sempat jadi mahasiswa. Untungnya, rasa iri itu segera
menghilang tergantikan oleh prestasi-prestasi kalian” bapak menghela napas. Aku
sendiri menerka-nerka ke mana arah sebenarnya dari pembicaraan yang tidak bisa
ditunda ini sampai besok untuk sekedar melepas rasa payahku.
“dua hari yang lalu” bapak kembali melanjutkan ceritanya. “bapak
dengar dia meninggal, jelasnya bapak kaget. Ternyata seorang dokter spesialis jantung
yang sudah terkenal juga meninggal” bapak menatap mataku, aku yang ditatap
mengernyitkan dahi tak mengerti. Semua orang memang akan mati kan? Tidak ada
yang aneh.
“sehari setelah itu, ada pengumuman dari masjid kalau pipin,
kumbang desa, telah meninggal. Lucunya, tadi sore ada berita di tivi bahwa
pengusaha kaya dari medan saat makan malam bersama keluarganya” lagi-lagi,
bapak menatapku. Aku masih saja pasang tampang bingung.
Sepertinya bapak faham kalau aku belum bisa menangkap inti dari
ceritanya kali ini. Lalu beliau melanjutkan “bapak jadi berpikir, apa yang
sebenarnya hidup ajarkan kepada kita? Dokter, mati. Kumbang desa, mati.
Pengusaha kaya-pun mati. Tak beda dengan kita yang mungkin bisa dikatakan
kalangan biasa-biasa saja, ujung-ujungnya ya mati” bapak mulai memperbesar lagi
suara tivi tanda bahwa cerita ini sudah berakhir. Kebetulan acara di MNC sudah berganti
Kian Santang, film favorit bapakku.
Aku? Mungkin
karena lelah atau masih penasaran sama pohon bunga kesayangan ibu itu,
pikiranku belum bisa menangkap maksud bapak. Aku meneguk lagi sisa air dalam
mug yang tadi separuhnya sudah aku teguk. Mungkin besok saja aku pikirkan lagi,
sekarang aku fokus dulu sama seni ksatria yang ditunjukkan oleh raden Kian
Santang dan prabu Siliwangi. Tak heran kalau bapak menyukainya, biar sedikit ngaco,
inilah film yang mengingatkan kita kembali ke jaman non teknologi. Di samping
itu, cukup banyak hikmah yang disampaikan dalam film ini. Misalnya saja, dakwah
yang disampaikan raden Kian Santang tentang larangan syirik, secara tak
langsung itu juga dakwah kepada kita sang penonton.
Sesekali aku
membayangkan kita memiliki kesaktian seperti prabu Siliwangi. Mungkin kita bisa
lebih hemat kalau ada perang. Gak perlu beli senjata sih, tinggal keluarkan
saja tenaga dalam, sekali wuzz langsung mati deh semuanya. Hahah
“sudah larut,
kalau sudah sholat di perjalanan, langsung istirahat saja biar badanmu gak
lemes. Besok pagi kamu bisa jemput adek-adekmu buat sekolah” bapakku beranjak
dari tempatnya duduk dan menuju pintu depan untuk memeriksa keamanan rumah. Hal
ini biasa bapak lakukan, beliau termasuk orang yang teliti dan kritis.
“nggih pak”
jawabku mengiyakan saran bapak sembari mematikan tivi. Ku bawa tas ranselku
yang tidak terlalu berat itu menuju kamar pribadiku. Sejak aku lulus SMA, aku
sudah punya kamar pribadi. Aku sudah dianggap cukup dewasa di rumah ini.
Sudah dua bulan
kamar ini tidak ku tempati. Namun lantainya masih bersih kinclong. Kalau
aku tidak sedang di rumah, biasanya ibu yang rajin tiap hari membersihkan
kamarku dibantu dengan 2 bidadari kecilku, Ifa dan Hanun. Ranjang tempatku
tidur juga tertata rapi. Ada 2 bantal yang terletak sebaris, lalu di atasnya ada
satu bantal guling berwarna biru. Di samping tempat tidurku ada meja belajar
lengkap dengan kursinya. Satu kamus bahasa Arab-Indonesia milikku tergeletak
agak miring di sana, ada selipan kertas putih, sepertinya baru saja dipakai.
Mungkin si Hanun yang pinjam, katanya sih dia sekarang juga kursus bahasa arab
di Paiton.
Ku mendekati kaca
yang menempel di dinding samping kiri pintu. Wuah, inilah wajah asliku di titik
nol. Mata merah akibat angin perjalanan mungkin dan sedikit kusam yang kuyakini
karena peran aktif debu-debu perjalanan. Mungkin sebaiknya aku basuh dulu dengan
air wudhu’ sebelum tidur. Ini praktek dari slogan kebersihan adalah sebagian
dari iman.
Air di sini dan di
Jogja terasa beda sekali, di sini lebih seger. Maklum, di jogja aku nyantri di
daerah perkotaan sambil kuliah, jadi airnya tidak lebih segar dari air yang
bersumber dari tanah desaku, sumberan. Ah sekali lagi, ibu dan
adek-adekku memang paling getol mempraktekkan slogan kebersihan tadi. Bahkan
dalam bak mandi ini, tak kutemukan satu plankton pun yang hidup di sana,
lantainya kesat, WC-nya bersih putih, dan satu lagi, wangi. Aku bersyukur
sekali punya 3 bidadari itu. Biar kata rumahku sederhana, tapi kalau rapi dan
bersih gini, aku jadi sangat betah. Ngomongin mereka, rasa rindu ini semakin
menyeruak saja.
Tak baik jika
berlama-lama di kamar mandi, kamar mandi termasuk salah satu dari 3 tempat yang
paling tidak disukai Allah dan paling disukai syeitan. Ku segera bergegas
keluar dari kamar mandi, tak menoleh lagi, aku langsung menuju kamar. Tujuanku
kali ini benar-benar hanya satu, tidur. Sholat isya’ sudah aku lakukan jama’ di
Masjid Jami’ Kraksaan tadi.
*****
Cerita bapak tadi
masih bergentayangan dalam pikiranku. Mataku-pun ikut-ikutan on. Tidak
bisa tidur. Mataku malah melirik-lirik alqur’an terjemah yang sebelum beranjak
ke ranjang ku keluarkan dari ransel hitam dan ku letakkan tepat di atas kamus
bahasa Arab-Indonesia-ku. Ku putuskan untuk mengambilnya saja, toh aku
masih punya wudhu’.
Tanganku
berhenti membolak-balikkan alqur’an di surat al-anbiya’ ayat 35.
“Tiap-tiap
yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan
kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu
dikembalikan”
Begitulah isi dari
terjemahan ayat ke-35 dari surat al-anbiya’ itu. Seperti dicolek harimau,
hatiku bergidik. Tanganku juga perlahan bergetar. Mati memang selalu menjadi
hal yang menyeramkan. Karena setelah mati, kita tidak bisa berbuat apa-apa,
hanya mengandalkan amal selama hidup di dunia. Kalau amal yang dikerjakan
selama hidup di dunia tak cukup untuk membeli syurga, maka habislah sudah di
neraka. Tak ada kesempatan kedua untuk berusaha lagi. Tapi urusan mati, tak
perlu terlalu ditakutkan, takut atau tidak, kita tetap akan mati, yang penting
berbuat sebagaimana mestinya di dunia.
Sebenarnya bukan
itu yang membuatku bergidik, tapi kalimat kedua dan ketiga yang cukup cetar
membahana ku pikir. Bagaimana tidak, di situ dijelaskan keburukan dan kebaikan
adalah ujian, sedangkan aku selalu lalai terhadap keduanya, terutama dengan
kebaikan.
*****
“Mas sholeh? Kapan
yang pulang?” Hanun berbinar-binar saat tahu yang jemput dia adalah mas-nya
yang sudah 2 bulan tak pulang ini.
Beda lagi dengan
ibu, sepertinya beliau punya ilmu ladunni, langsung tahu kalau aku sudah sampai di rumah tadi malam.
Tapi untuk tepatnya jam berapa, beliau tetap tidak tahu. Buktinya tidak ada
ekspresi kaget di wajah beliau.
“salim dulu sama
nenekmu, beliau sudah baikan, abis itu langsung makan, baru segera bawa pulang
adek-adekmu” subhanallah, ibu memang serba lengkap. Satu kalimat untuk
keseluruhan pesan.
“nggih buk”
jawabku pelan disertai anggukan dan senyuman
*****
“mas, sudah tahu
belum? Mas Pipin si kumbang desa meninggal sekitar 4 hari yang lalu, Hanun
cukup heran mas”
“Innalillah, heran
kenapa nun?” tanyaku sambil tetap fokus menyetir sepeda motor
“soalnya dia masih
muda mas, orang paling ganteng se-desa lagi!”
“namanya mati gak
kenal tua muda atau jelek ganteng, malah banyak orang meninggal saat masih bayi
kan?” balasku tanpa merasa heran sedikitpun.
“kalau sudah mati,
gantengnya gak fungsi ya mas? Kalau aku mahromnya, sudah aku dorong dia buat
jadi ustad. Denger-denger sih ilmu agamanya cukup tinggi lho mas, wajahnya elok
lagi. Tinggal pernakin hatinya aja. Setahuku, da’I itu bukan hanya butuh
keindahan batin, tapi juga butuh keindahan fisik biar orang semakin tertarik.
Misalnya aja Rosululllah, indah hatinya, indah fisiknya. Iya kan mas? Tapi
sayang, dia gunakan kegantengannya di jalan yang salah. Masak tiap minggu ganti
cewek mas. Cewek-ceweknya suka pakek rok mini lagi! Hih kayak di kota aja. Gak nyambung banget pokoknya mas sama desa
kita. Parahnya, dia meninggalnya pas saat sedang berduaan dengan pacarnya di
hotel. Ih serem ya mas? Eman sama gantengnya” Hanun mengungkapkan
kekecewaannya panjang lebar dengan suara agak keras mengingat kami sedang di
atas sepeda motor. Sesekali aku buka kaca helm-ku agar bisa mendengar
omongannya.
“Hush, kita juga
tidak tahu nanti kita matinya seperti apa. Istighfar gih!” saranku padanya yang
sudah sok-sok-an jelek-jelek-in almarhum Pipin.
“mas, agak cepat
ya? Ifa takut terlambat” Ifa yang paling anti bicara di atas kendaraan akhirnya
bersuara. Ini tandanya dia sedang mengirim signal seperti ini “ngomongnya nanti
aja deh mas mbak, ini lagi di kendaraan loh! Rame lagi! Mana telingaku sakit
denger kalian teriak-teriak!” hahaha.. oke let’s Foccus.
*****
Tugas pertamaku
hari ini mengenai kedua adekku sudah selesai. Saatnya menggantikan tugas ibu di
rumah. Bersih-bersih. Tapi bentar, “Eman sama gantengnya”??
Subhanallah,
jadi mungkin inikah yang menjadi inti dari cerita bapak tadi malam? bukan masalah
mereka yang pintar, ganteng, atau kaya. Namun terlebih padaku yang 2 minggu
lagi akan bergelar S.Si?
“Bapakku..
gelar S.Si, InsyaAllah akan kugunakan pada tempatnya untuk ku petik manfaatnya
saat diri telah berkalang tanah, terimakasih bapak” ucapku dalam hati manatap hormat
pada bapakku yang sedang bersiap-siap berangkat ke sawah.