Senja
itu indah, pertanda langit akan segera menggelap, pertanda rembulan dan bintang
– bintang kan terlihat. Tak kupikirkan lagi selain pulang, pulang untuk
mengistirahatkan diri setelah seharian berjalan menyusuri sapaan ombak kecil di
tepi pantai. Aku juga tidak ingin menoleh lagi ke bekas – bekas jejakku yang
terhapus di belakang. Ku melangkah hingga air asin itu tak bisa mencapai
kakiku. Ah, bukankah sore ini sama dengan sore – sore sebelumnya, tak ada yang
lebih istimewa dari senja, tak ada yang lebih istimewa dari riuk ombak kecil,
tak ada yang lebih istimewa dari duduk di atas batu karang yang selalu
dihampiri ombak, tak ada yang lebih istimewa dari suara tawa anak – anak kecil
yang nakal dan bertelanjang dada di tepi pantai. Angin sore inipun masih sama,
mengayunkan helai – helai rambut panjangku mengarah ke kepantai.
Ntah
sejak kapan, langkahku terhenti akibat kasarnya pasir – pasir mengigit telapak
kakiku, ah biar kubungkukkan badan untuk mengusir pasir - pasir usil itu. Ada apa? Ku tangkap siluet jingga merajai
mataku. Arah itu, karang di sebelah sana. Aku ingin sebentar duduk – duduk di
atas karang itu. Karang yang mungkin terlihat tak istimewa, hanya saja dia
telah menculik perhatian jingga dari mataku. Ku pikir jingga itu istimewa, aku
tidak ingin melewatinya.
Karang
biasa, tak segagah karang di tengah sana mungkin, tak semungil karang – karang
di ujung sapaan ombak di sebelah selatan. Tapi ummm, karang ini terlihat pas di
mataku. Karang hitam dengan lubang – lubang kecil sebagai pertanda sifat
karanga-wi-nya dan gerigit – gerigit
kasar yang menunjukkan betapa matangnya dia sebagai karang.
Ah,
biarlah, aku ingin terlelap malam nanti, salam kenal karang,, aku menyukaimu atas
lubang – lubang kecil dan gerigit – gerigit kasar yang kupikir manis.