Archive

Archive for September 2013

Cerita 2 Minggu Sebelum Wisuda



Tugas Creative Writing 3
Cerita 2 Minggu Sebelum Wisuda
By: Ainul Maghfirah
Akhirnya bisa mencium aroma tanah pekarangan rumah setelah 2 bulan merantau di kota perjuangan. Maklum, aku bukan santri jaman dulu yang katanya sih paling betah ngelmo di pesantren. Ibu bapakku juga bukan orang orang tua jaman dulu yang dengan tegas melarang anaknya pulang kampong sebelum jadi “orang”. Aku dan mereka sama-sama tidak bisa menahan rindu yang berkepanjangan. Paling lama 2 bulan lah kami bisa menahan rindu. Untungnya, Pesantren tempatku menyantri bukanlah pesantren dengan aturan super ketat. Kami bahkan mendapat jatah 1x pulang kampong dalam sebulan.
Sepertinya ibu dan bapakku belum tidur, suara tivi dari ruang depan sayup-sayup terdengar olehku. Kalau ibu belum tidur, aku penasaran melihat ekspresi wajah ibuku yang super baik itu kalau melihatku ada di depan pintu. Terbayang, aku mengetuk pintu, ibu membuka pintu lalu melihatku berdiri di depan pintu, wajah ibuku Nampak tenang, tapi setelah itu..
“sholeh? Kok datangnya jam segini nak? KENAPA NGGAK JAM 12 MALAM AJA SEKALIAN NGGAK TAK BUKAKAN PINTU KAPOK!!”
Hahah, pasti adegan nyatanya lebih serem. Biasanya bahuku ditepuknya keras-keras. Itu gaya ibuku kalau lagi gregetan sama anak-anaknya. Gaya yang semakin membuatku merasa dekat layaknya teman.
Sebelum membuat ibuku terkejut dengan kedatanganku yang tepat pada pukul 9 malam ini, yang dalam ukuran desaku sudah sangat sepi, aku ingin menyapa satu-satunya pohon bunga kesayangan ibuku yang dua bulan lalu masih terlihat begitu gagah dengan duri-duri tajam di tangkainya , begitu berkobar dengan warna merah pada kelopak bunganya, dan bersandar manja ke dinding rumah yang tak berkulit. Ku melangkah menuju samping kiri rumahku yang menghadap ke barat. Aha, sepertinya rumahku baru direnovasi, dindingnya sudah dikuliti dengan semen dan bercat kuning gelap. Selain itu, sinar lampu neon 5 watt yang ada tepat di bagian tengah atap di atas teras rumah semakin menambah elok pemandangan rumahku bagian luar. Terlebih, adanya sekelompok pot berbunga yang mengelilingi tepi teras. Ah kalau seperti ini, kemungkinan besar aku semakin betah di rumah. Kembali ke tujuan semula, ku arahkan mataku ke pot bunga yang berada di pojok kiri teras.
“lho” mataku jadi was-was melihat pohon bunga itu tak lagi di situ. Mungkinkah ibu memindahkannya ke dalam rumah karena takut dicuri orang? Rasa-rasanya sih tidak mungkin. Lebih tidak mungkin lagi kalau dijual. Ibuku anti jual tanaman bunga. Apapun, semoga bukan mati penyebabnya.
*****
“assalamu’alaikum” aku mulai mengetuk pintu sembari menyiapkan diri menerima serangan dari ibu.
“wa’alaikumussalam” terdengar suara berat dari dalam rumah dan suara hentakan kaki yang semakin mendekat kea rah pintu. Jelas itu bapakku. Jangan-jangan ibu sudah tidur. Kalau ibu sudah tidur dan hanya bapak yang masih bangun, aku tak perlu bersiap-siap. Karena bagi beliau, anak laki-laki pulang malam itu bukan masalah, yang penting tidak mencuri atau mabuk-mabukan seperti samin tetangga sebelah.
Pintu sudah terbuka, dan memang benar hanya ada bapakku. Ku salami tangannya. Sepertinya aku sudah terlalu lama tidak pulang. Buktinya rasa  rindu saat mencium tangannya meluap begitu hebat. Andai saja bapakku tipe orang yang romantis, pasti sudah aku peluk.
“ibu dan adek-adekmu menginap di rumah bulekmu, nenekmu sakit lagi” bapak memperkecil suara tivi yang sedang menayangkan Gajah Mada.
Ku tahan rasa penasaranku tentang raibnya pohon bunga kesayangan ibu di pojok kiri teras itu. Suasana seperti ini, ditambah dengan bapak memperkecil suara tivi, biasanya pertanda beliau akan mengajakku berbincang-bincang atau bercerita tentang sesuatu.
Ku lepas tas ranselku yang berisi beberapa sarung dan baju koko lalu meletakkannya di samping bapakku duduk menonton tivi. Untuk menghilangkan haus seharian dalam perjalanan Jogja-Probolinggo, ku meneguk air minum yang sudah dituangkan oleh bapak dari teko hijau berukuran sedang. Selanjutnya, aku segera bersila di depan bapak bersiap mendengar pembicaraan beliau yang biasanya selalu penting dan bermanfaat.
“nak” beliau mulai bicara lagi. “dulu, bapak punya teman istimewa di SMA. Dibilang istimewa, karena dia memiliki banyak kelebihan dibandingkan yang lain. Kulitnya putih bersih, banyak adek kelas yang menyukainya. tak pernah kekurangan uang seperti bapak dan yang lain, pintarnya jempolan. Apalagi dalam pelajaran biologi. Tak jarang guru-guru kami memujinya. Perkiraan bapak, dia memiliki masa depan yang cerah. Benar, setelah lulus, dia diterima di kedokteran UNAIR. Pernah suatu hari, saat dia dan teman-temannya mengadakan penyuluhan kesehatan di desa kita, bapak melihat dia memakai jas almamater UNAIR. Subhanallah, tambah bersih, tambah ganteng. Gagah. Lalu, sepulang bapak dari mengantar kamu nyantri di jogja, bapak dapat info dari saudara jauhnya yang tinggal di sini, katanya dia telah menjadi dokter spesialis jantung yang cukup terkenal. Sempat, selain kagum, ada rasa iri yang menyembul di hati jika melihat bapak yang tak sempat jadi mahasiswa. Untungnya, rasa iri itu segera menghilang tergantikan oleh prestasi-prestasi kalian” bapak menghela napas. Aku sendiri menerka-nerka ke mana arah sebenarnya dari pembicaraan yang tidak bisa ditunda ini sampai besok untuk sekedar melepas rasa payahku.
“dua hari yang lalu” bapak kembali melanjutkan ceritanya. “bapak dengar dia meninggal, jelasnya bapak kaget. Ternyata seorang dokter spesialis jantung yang sudah terkenal juga meninggal” bapak menatap mataku, aku yang ditatap mengernyitkan dahi tak mengerti. Semua orang memang akan mati kan? Tidak ada yang aneh.
“sehari setelah itu, ada pengumuman dari masjid kalau pipin, kumbang desa, telah meninggal. Lucunya, tadi sore ada berita di tivi bahwa pengusaha kaya dari medan saat makan malam bersama keluarganya” lagi-lagi, bapak menatapku. Aku masih saja pasang tampang bingung.
Sepertinya bapak faham kalau aku belum bisa menangkap inti dari ceritanya kali ini. Lalu beliau melanjutkan “bapak jadi berpikir, apa yang sebenarnya hidup ajarkan kepada kita? Dokter, mati. Kumbang desa, mati. Pengusaha kaya-pun mati. Tak beda dengan kita yang mungkin bisa dikatakan kalangan biasa-biasa saja, ujung-ujungnya ya mati” bapak mulai memperbesar lagi suara tivi tanda bahwa cerita ini sudah berakhir. Kebetulan acara di MNC sudah berganti Kian Santang, film favorit bapakku.
            Aku? Mungkin karena lelah atau masih penasaran sama pohon bunga kesayangan ibu itu, pikiranku belum bisa menangkap maksud bapak. Aku meneguk lagi sisa air dalam mug yang tadi separuhnya sudah aku teguk. Mungkin besok saja aku pikirkan lagi, sekarang aku fokus dulu sama seni ksatria yang ditunjukkan oleh raden Kian Santang dan prabu Siliwangi. Tak heran kalau bapak menyukainya, biar sedikit ngaco, inilah film yang mengingatkan kita kembali ke jaman non teknologi. Di samping itu, cukup banyak hikmah yang disampaikan dalam film ini. Misalnya saja, dakwah yang disampaikan raden Kian Santang tentang larangan syirik, secara tak langsung itu juga dakwah kepada kita sang penonton.
            Sesekali aku membayangkan kita memiliki kesaktian seperti prabu Siliwangi. Mungkin kita bisa lebih hemat kalau ada perang. Gak perlu beli senjata sih, tinggal keluarkan saja tenaga dalam, sekali wuzz langsung mati deh semuanya. Hahah
            “sudah larut, kalau sudah sholat di perjalanan, langsung istirahat saja biar badanmu gak lemes. Besok pagi kamu bisa jemput adek-adekmu buat sekolah” bapakku beranjak dari tempatnya duduk dan menuju pintu depan untuk memeriksa keamanan rumah. Hal ini biasa bapak lakukan, beliau termasuk orang yang teliti dan kritis.
            nggih pak” jawabku mengiyakan saran bapak sembari mematikan tivi. Ku bawa tas ranselku yang tidak terlalu berat itu menuju kamar pribadiku. Sejak aku lulus SMA, aku sudah punya kamar pribadi. Aku sudah dianggap cukup dewasa di rumah ini.
            Sudah dua bulan kamar ini tidak ku tempati. Namun lantainya masih bersih kinclong. Kalau aku tidak sedang di rumah, biasanya ibu yang rajin tiap hari membersihkan kamarku dibantu dengan 2 bidadari kecilku, Ifa dan Hanun. Ranjang tempatku tidur juga tertata rapi. Ada 2 bantal yang terletak sebaris, lalu di atasnya ada satu bantal guling berwarna biru. Di samping tempat tidurku ada meja belajar lengkap dengan kursinya. Satu kamus bahasa Arab-Indonesia milikku tergeletak agak miring di sana, ada selipan kertas putih, sepertinya baru saja dipakai. Mungkin si Hanun yang pinjam, katanya sih dia sekarang juga kursus bahasa arab di Paiton.
            Ku mendekati kaca yang menempel di dinding samping kiri pintu. Wuah, inilah wajah asliku di titik nol. Mata merah akibat angin perjalanan mungkin dan sedikit kusam yang kuyakini karena peran aktif debu-debu perjalanan. Mungkin sebaiknya aku basuh dulu dengan air wudhu’ sebelum tidur. Ini praktek dari slogan kebersihan adalah sebagian dari iman.
            Air di sini dan di Jogja terasa beda sekali, di sini lebih seger. Maklum, di jogja aku nyantri di daerah perkotaan sambil kuliah, jadi airnya tidak lebih segar dari air yang bersumber dari tanah desaku, sumberan. Ah sekali lagi, ibu dan adek-adekku memang paling getol mempraktekkan slogan kebersihan tadi. Bahkan dalam bak mandi ini, tak kutemukan satu plankton pun yang hidup di sana, lantainya kesat, WC-nya bersih putih, dan satu lagi, wangi. Aku bersyukur sekali punya 3 bidadari itu. Biar kata rumahku sederhana, tapi kalau rapi dan bersih gini, aku jadi sangat betah. Ngomongin mereka, rasa rindu ini semakin menyeruak saja.
            Tak baik jika berlama-lama di kamar mandi, kamar mandi termasuk salah satu dari 3 tempat yang paling tidak disukai Allah dan paling disukai syeitan. Ku segera bergegas keluar dari kamar mandi, tak menoleh lagi, aku langsung menuju kamar. Tujuanku kali ini benar-benar hanya satu, tidur. Sholat isya’ sudah aku lakukan jama’ di Masjid Jami’ Kraksaan tadi.
*****
            Cerita bapak tadi masih bergentayangan dalam pikiranku. Mataku-pun ikut-ikutan on. Tidak bisa tidur. Mataku malah melirik-lirik alqur’an terjemah yang sebelum beranjak ke ranjang ku keluarkan dari ransel hitam dan ku letakkan tepat di atas kamus bahasa Arab-Indonesia-ku. Ku putuskan untuk mengambilnya saja, toh aku masih punya wudhu’.
Tanganku berhenti membolak-balikkan alqur’an di surat al-anbiya’ ayat 35.
            Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan”
            Begitulah isi dari terjemahan ayat ke-35 dari surat al-anbiya’ itu. Seperti dicolek harimau, hatiku bergidik. Tanganku juga perlahan bergetar. Mati memang selalu menjadi hal yang menyeramkan. Karena setelah mati, kita tidak bisa berbuat apa-apa, hanya mengandalkan amal selama hidup di dunia. Kalau amal yang dikerjakan selama hidup di dunia tak cukup untuk membeli syurga, maka habislah sudah di neraka. Tak ada kesempatan kedua untuk berusaha lagi. Tapi urusan mati, tak perlu terlalu ditakutkan, takut atau tidak, kita tetap akan mati, yang penting berbuat sebagaimana mestinya di dunia.
            Sebenarnya bukan itu yang membuatku bergidik, tapi kalimat kedua dan ketiga yang cukup cetar membahana ku pikir. Bagaimana tidak, di situ dijelaskan keburukan dan kebaikan adalah ujian, sedangkan aku selalu lalai terhadap keduanya, terutama dengan kebaikan.
*****
            “Mas sholeh? Kapan yang pulang?” Hanun berbinar-binar saat tahu yang jemput dia adalah mas-nya yang sudah 2 bulan tak pulang ini.
            Beda lagi dengan ibu, sepertinya beliau punya ilmu ladunni, langsung tahu  kalau aku sudah sampai di rumah tadi malam. Tapi untuk tepatnya jam berapa, beliau tetap tidak tahu. Buktinya tidak ada ekspresi kaget di wajah beliau.
            “salim dulu sama nenekmu, beliau sudah baikan, abis itu langsung makan, baru segera bawa pulang adek-adekmu” subhanallah, ibu memang serba lengkap. Satu kalimat untuk keseluruhan pesan.
            nggih buk” jawabku pelan disertai anggukan dan senyuman
*****
            “mas, sudah tahu belum? Mas Pipin si kumbang desa meninggal sekitar 4 hari yang lalu, Hanun cukup heran mas”
            “Innalillah, heran kenapa nun?” tanyaku sambil tetap fokus menyetir sepeda motor
            “soalnya dia masih muda mas, orang paling ganteng se-desa lagi!”
            “namanya mati gak kenal tua muda atau jelek ganteng, malah banyak orang meninggal saat masih bayi kan?” balasku tanpa merasa heran sedikitpun.
            “kalau sudah mati, gantengnya gak fungsi ya mas? Kalau aku mahromnya, sudah aku dorong dia buat jadi ustad. Denger-denger sih ilmu agamanya cukup tinggi lho mas, wajahnya elok lagi. Tinggal pernakin hatinya aja. Setahuku, da’I itu bukan hanya butuh keindahan batin, tapi juga butuh keindahan fisik biar orang semakin tertarik. Misalnya aja Rosululllah, indah hatinya, indah fisiknya. Iya kan mas? Tapi sayang, dia gunakan kegantengannya di jalan yang salah. Masak tiap minggu ganti cewek mas. Cewek-ceweknya suka pakek rok mini lagi! Hih kayak di kota aja.  Gak nyambung banget pokoknya mas sama desa kita. Parahnya, dia meninggalnya pas saat sedang berduaan dengan pacarnya di hotel. Ih serem ya mas? Eman sama gantengnya” Hanun mengungkapkan kekecewaannya panjang lebar dengan suara agak keras mengingat kami sedang di atas sepeda motor. Sesekali aku buka kaca helm-ku agar bisa mendengar omongannya.
            “Hush, kita juga tidak tahu nanti kita matinya seperti apa. Istighfar gih!” saranku padanya yang sudah sok-sok-an jelek-jelek-in almarhum Pipin.
            “mas, agak cepat ya? Ifa takut terlambat” Ifa yang paling anti bicara di atas kendaraan akhirnya bersuara. Ini tandanya dia sedang mengirim signal seperti ini “ngomongnya nanti aja deh mas mbak, ini lagi di kendaraan loh! Rame lagi! Mana telingaku sakit denger kalian teriak-teriak!” hahaha.. oke let’s Foccus.
*****
            Tugas pertamaku hari ini mengenai kedua adekku sudah selesai. Saatnya menggantikan tugas ibu di rumah. Bersih-bersih. Tapi bentar, “Eman sama gantengnya”??
Subhanallah, jadi mungkin inikah yang menjadi inti dari cerita bapak tadi malam? bukan masalah mereka yang pintar, ganteng, atau kaya. Namun terlebih padaku yang 2 minggu lagi akan bergelar S.Si?
“Bapakku.. gelar S.Si, InsyaAllah akan kugunakan pada tempatnya untuk ku petik manfaatnya saat diri telah berkalang tanah, terimakasih bapak” ucapku dalam hati manatap hormat pada bapakku yang sedang bersiap-siap berangkat ke sawah.

           

Tokoh: Ayah, Watak: penuh Kasih


Tugas Bengkel Tulisan
By: Ainul Maghfirah



Anak perempuan ini telah lahir tahunan lalu. Beningnya matanya saat ia pertamakali melihat dunia sempat memikat mata orang yang dia panggil “Ayah”. Waktu bergulir dengan beberapa celah pemisah pertemuan kedua mata itu. Si anak ke sekolah, si ayah ke sawah. Celah pemisah yang memberi perbedaan jelas tentang kewajiban dari masing-masing pemilik mata itu.
            Jika gelap telah datang, atau fajar telah menjelang, pasangan anak dan ayah itu segera membersihkan pakaiannya untuk kemudian bersama-sama mengucapkan rasa syukur atas kehidupan yang masih dirasa. Biarpun tak terdengar, namun kedua pemilik mata itu saling mengerti, bahwa mereka butuh sisa-sisa energi untuk kehidupan setelah fajar esok pagi. Bagi ayah, segarnya mata anaknya, adalah cahaya yang menggerakan energi dalam otot-ototnya yang mulai lesu. Bagi sang anak, tatapan ayahnya, adalah harapan yang mengisi energi dalam sistem syarafnya. Esok pagi, mereka kembali akan bertemu dengan celah pemisah dengan segenggam energi yang telah mereka teguk di waktu petang.
            Tak peduli seberapa besar rasa kasih yang menyelimuti mereka, kata-kata dari lisan tetap jarang terucap, bahkan untuk sekedar sapaan anakku sayang atau ayahku sayang. Seperti tuhan telah menganugerahkan mata dan hati yang teramat bijak, hanya lewat mata, hatipun jadi mengerti. Sebenarnya tidak ada yang spesial dari mata anak itu, namun dari pantulan matanya, ayah itu melihat dirinya berdiri, hidup. Yup, anak perempuan itulah yang menjadi perantara bagi dia untuk tetap hidup. Anak perempuan yang lahir sebagai ganti dari sebagian tulang rusuknya.
            Bertahun-tahun hidup seperti berpayungkan langit dan beralaskan tanah sempat memutup matanya akan dunia luar. Bagaimana tidak, untuk urusan perut saja dia harus selalu mendelik seharian, melihat setajam-tajamnya pada apa saja yang bisa menghasilkan beras 2 ons dan 1 ons garam. Kesibukannya telah menarik dia dari dunia luar, dunia orang-orang. Atau sebenarnya dialah yang terlempar dari dunia luar itu. Dunia yang menurutnya bukan tempat untuk yang berpakaian lusuh, bukan untuk yang memakai sandal jepit usang. Jika-pun memaksa untuk tetap masuk, maka siap-siaplah untuk tertusuk. Tertusuk oleh ocehan dan tatapan orang-orang yang perutnya kenyang dengan nasi dan lauk pauk tiap hari.
            Tak masalah baginya, selama ada teman untuk diajak berbicara, selama ada teman yang setia menyambutnya dengan senyuman tiap kali datang dari mengais rejeki di luar. Sampai saat ini, teman berbicara tetap ada, teman yang menyambut dengan senyuman juga masih ada, anak perempuannya. Namun kali ini sudah berbeda, sejak mata itu menatapnya, ada harapan di mata bayi perempuannya itu, harapan yang harus diwujudkan. Dan dalam mata itulah dia melihat dirinya berdiri gagah dengan bibir melengkung bulan sabit. Untuk pertama kalinya, dia merasa gagah. Gagah sebagai laki-laki yang beranak, sebagai seorang ayah.
            Sejak itu, ia tegakkan badannya, ia arahkan matanya ke seluruh penjuru, perlahan ia langkahkan kakinya sampai sekarang. Baginya setiap waktunya adalah langkah yang berarti untuk anaknya. Jika dulu ia mati bersama sinisnya dunia dengan istrinya yang tak tahu menahu dengan wajah dunia. Sekarang dia hidup layaknya manusia hidup, demi anaknya. Walau dia sebenarnya lebih menyukai hidup sebagaimana sebelumnya, namun dia tidak ingin mata bening anaknya hanya bisa melihat putihnya nasi di piring.
            Jadilah dia seorang ayah yang berazzam akan menjadi ayah terbaik untuk anak perempuannya. Dimulai dari sebelum fajar datang, ia bangunkan anaknya dengan colekan tangannya yang keras akibat tanah sawah. Membawa anaknya ke sungai belakang rumah untuk sekedar berwudhu’. Jika kaki mereka telah terangkat dari sungai, segeralah ia menyelimuti anaknya dengan sarung loreng berwarna coklat. Suhu pagi di desanya memang cukup ekstrim. Jika tak biasa, virus di hidung bisa langsung menyerang, flu. Seusai sholat shubuh, dia tengadahkan tangannya dan berdo’a “ya Allah berikanlah kesuksesan dan kebahagiaan pada anakku di dunia dan di akhirat”, dengan penuh harap dia mengamini do’anya lalu mengusap kepala anaknya dengan lembut.
            Dia memang bukan orang yang pandai dalam berbicara. Urusannya mencari sesuap nasi dan kemalasannya bertegur sapa dengan dunia luar membuat dia hanya berlatih berbicara dengan istrinya. Sejak dia menjadi seorang ayah, dia langkahkan kaki untuk bertegur sapa dengan orang yang dianggap alim di desa itu untuk sekedar bertanya cara sholat dan mu’amalah. Untuk apa? Untuk dilihat oleh anaknya. Agar anaknya melihat dia sholat 5 waktu dan berbuat baik pada tetangga.
            Hidup bukan lagi sekedar tentang sesuap nasi. Seakan-akan tuhan telah membukakan satu gerbang pintu untuknya, rejeki. Rejeki yang tidak hanya cukup untuk membeli beras, tapi juga untuk membeli seragam, sepatu sekolah buat anaknya. Tidak tidak, pekerjaannya tidak lebih ringan dari yang dulu. Hanya saja, dia bergerak lebih cepat dari satu tempat ke tempat lainnya dari seusai disalami anaknya di pagi hari hingga adzan ashar berkumandang. Karena sebelum petang tiba, dia juga harus menemui ustad dan bertegur sapa dengan tetangga sebelahnya. Karena saat petang tiba, dia hanya ingin berduaan dengan anaknya, melihat anaknya, menemaninya belajar walau hanya sekedar duduk diam.
            Ditutupnya pintu rumahnya yang sekarang sudah terbuat dari kayu jati. Membersihkan tempatnya berjama’ah sholat maghrib lalu bergegas mengambil tikar untuk tempat anaknya belajar nanti seusai mengaji. Ketika anaknya mengaji, dia berlalu ke dapur tepat di depan tempat sholat mengupas pisang untuk digoreng dengan sembari menajamkan telinganya agar bisa mendengar suara anaknya melafazkan ayat-ayat alqur’an. Tak jarang, suara yang begitu lancar membacakan alqur’an itu membuatnya meneteskan air mata secara diam-diam di dapur. Betapa bahagia hatinya, semakin kuat keinginannya untuk mendengar kefasihan suaranya membicarakan hal-hal lain yang tidak dia ketahui, hal-hal yang dianggap hebat di dunia. Usai menggoreng pisang yang tumbuh di belakang rumahnya, dia letakkan pisang-pisang itu di atas piring plastik lalu dibawanya pisang-pisang itu di dekat anaknya.
            Dia sendiri duduk tepat di samping anaknya. Meski kantuk telah menyerang hebat akibat lelah di siang hari, tapi sungguh dia pantang memejamkan mata saat mata anaknya masih bersinar dengan deretan huruf di buku-buku pelajarannya. Malam adalah waktu paling panjang untuk berduaan dengan anaknya, sama sekali dia tak mau menyia-nyiakan begitu saja. Karena saat fajar esok menjelang, dia hanya memiliki sedikit waktu untuk melihat anaknya.
            Mentari pagi telah tiba ribuan kali, hari ini dia melihat sinar di mata anaknya melebihi terangnya sinar mentari. Hari ini, anak perempuannya ada di antara jejeran mahasiswa bertoga. Hari ini, anak perempuannya tersenyum di sampingnya dengan sebuah piagam penghargaan, lulus sempurna.
            “Ya Allah, sudahkah tugasku selesai?” tanyanya dalam hati.
           

Cuek boleh, tapi jangan sadis dong!



Tugas creative writing
By: Ainul Maghfirah

“mas Jak, gimana rasanya diterima sama Universitas negeri? Pake’ beasiswa penuh lagi?!! Keren keren keren, mas-ku iniiiiii!” Tanya sakinah dengan mata yang terbinar-binar kagum luar angkasa. Kalau sudah resmi jadi mahasiswa, kirimi Sakin fotonya mas ya? Nanti Sakin upload di pesbuk, tak tambahi tulisan pake’ huruf balok MAS-KU, JAKA HENDARI, MAHASISWA KEDOKTERAN UNEJ 2013. Ohohoooo pasti teman-temanku pada kagum nas. Oia, jangan lupa pake’ almamater ya mas!” lanjut Sakinah semakin menggebu dengan senyuman penuh rasa bangga pada mas satu-satunya ini.
“biasa aja!” jawab Jaka sedikit heran dengan adeknya, Sakinah, yang terlihat begitu out of fire.
Sakinah melongo tak percaya. Asli, gak abis pikir dengan tanggapan mas-nya mengenai prestasi yang cukup hebat di mata Sakinah. Secara, seluruh teman mas-nya yang daftar di Universitas negeri, hanya mas-nya yang diterima. Maklum, sekolahan di desa, yang fasilitasnya jauh dari kata lengkap, agak mencengangkan jika lulusan sekolahnya ada yang lolos beasiswa di Universitas negeri. Jurusannya agak berat lagi “kedokteran” plus pake’ beasiswa penuh. Apalagi tuh namanya kalau bukan hebat? Sedangkan jurusan yang dipilih oleh teman-teman Jaka, passing grade-nya jauh lebih rendah dari yang Jaka pilih.
“yee, mas ini! gak ada syukur-syukurnya jadi orang. Cuek boleh, tapi jangan datar gitu dong, jadi jelek tauk???!!!” Sakinah pasang aksi manyun, tanda dia kesal dengan tanggapan mas-nya yang emang pada dasarnya cuek. Menurut Sakinah, kecuekan mas-nya sudah berada di luar batas kewajaran untuk ukuran manusia.
“apanya yang datar juga? Syukur ya di hati, gak perlu dikasi’ tau ke orang lain” urai Jaka dengan nada yang menurut Sakinah sedatar orangnya
“huuuu,,, tauk!!!” kali ini, Sakinah sudah jengah, mendingan nonton Spongebob Squarepants deh. “berani taruhan, mas Jaka gak bakalan punya teman dekat lebih dari satu di sana, kapok!” gumam Sakinah agak keras sambil berlalu dari kamar Jaka yang penuh dengan komik detective conan, sengaja, biar mas-nya dengar.
“hmmm” Jaka hanya geleng-geleng  kepala mendengar gumaman adeknya. Sama sekali tidak merasa terganggu dengan kutukan Sakinah. “ada-ada saja, gak ada teman gak masalah, yang penting bisa menyelesaikan masalah di kampus. Beres!” lanjut Jaka, masih dengan suara datar. Segera, Jaka kembali fokus pada laptopnya yang full of manga.
**********************************
            “wow! Fer, Liat tuh Jaka! Gantengnya super deh! Rambutnya basah lagi, tambah 5 kg deh gantengnya” Inas, teman sekelas Jaka, yang sedikit agak lebay dan cerewet level 10. Blingsatan dengan penampilan Jaka yang menurutnya cool abis dengan rambut basah yang menyembul dari topi warna birunya. Saking gemesnya, Ferisa yang ada di samping Inas jadi kebanjiran cubitan gemes dari Inas.
            “wew, ganteng 5 kg? terserah deh mau nambah ganteng 1 ton juga gak apa-apa, tapi biasa aja deh, gak pake’ nyubitin tetangga! Sakit bok!” protes Ferisa yang merasa kesakitan dengan serangan cubitan dari Inas sejak Jaka melintas di depan mereka.
            Tahun ini adalah semester kedua Jaka. Seperti biasa, karena nomor induk mahasiswa (NIM) yang berdekatan, Jaka lagi-lagi satu kelompok praktikum dengan Inas dan Ferisa.
“Sudah bon alat belum?” Tanya Jaka pada Inas dan Ferisa sembari memperbaiki kancingan jas lab-nya.
“Sudah, yuk langsung aja kita rangkai alat-alat refluksnya” ajak Ferisa sambil menggaet tangan Inas yang masih berada dalam ketakjuban akan kegantengan jaka.
Dalam praktikum ini, tak banyak yang harus dilakukan. Hanya saja, butuh waktu menunggu yang lama untuk proses refluks. Maklum, semester yang bisa dibilang awal gini, mereka masih dibebani dengan praktikum-praktikum dasar, kimia. Untuk mengisi kekosongan waktu, Inas berinisiasi untuk mengorek keterangan lebih dalam lagi tentang Jaka, yang menurut dia, adalah teman laki-laki paling ganteng seumur hidup.
“eih Jak, ngomong-ngomong sudah punya pacar belum?” Inas memulai aksinya dengan mata melirik Ferisa yang berada sekitar 3 m dari tempatnya, yang diliriki Cuma senyum-senyum saja, sudah faham kalau Inas emang suka nekat. Apalagi urusan cowok. Maknyus top di depan.
“ya belum lah!” jawab Jaka sinis, sedangkan wajahnya masih mengarah ke komik manga yang ada di laptopnya.
Masalah sinis disinisi atau dicuekin, Inas sudah cukup kebal. Ini bukan pertamakalinya Inas disinisin sama Jaka. Lagian, kapan sih Jaka tidak cuek? Bukan Jaka Hendari namanya kalau tidak cuek. Merasa semua berjalan normal, Inas melanjutkan pertanyaannya lebih dalam
“emang perempuan seperti apa yang kamu sukai Jak?” kali ini, Inas semakin memperlembut suaranya, senyumannyapun dibuat seramah dan setulus mungkin. Berharap Jaka akan terpesona. Jaka sendiri sama sekali tak peduli, sepertinya manga kelihatan lebih manis di mata Jaka dibandingkan senyum Inas yang bibirnya penuh dengan lipgloss  warna pink pucat.
Jaka menoleh ke Inas dengan kernyitan di dahi, “yang jelas tidak seperti kamu! Berisik!”
Alamaaaaaaaaaak!!!!!!
Okeh, kali ini Inas emosi. Disinisin boleh, masih bisa tahan. Tapi tidak untuk melecahkan dirinya seperti ini.
“ngelamak! Kurang ajar kamu Jak!” suara Inas semakin meninggi. “kayak orang ganteng sedunia saja! Awas ya, istrinya kayak apa nanti!!! Inas menggerutu kesal, lalu meninggalkan Jaka dengan ekspresi superdongkol yang disambut dengan prihatin oleh Ferisa.
“sabar Nas…”ujar Ferisa
“nyesekin ati tau gak Fer? Biar kata dia ganteng, kalau gak aturan gini ngomongnya ya jadi ilang dimakan orang Bangladesh gantengnya!” Inas ngomel-ngomel pelan. Dia sudah mendapat peringatan dari asisten untuk tidak ramai dalam lab.
            “iyo wez abis dimakan orang Bangladesh. Wez gak usah dipikirin! Mending bantuin aku nyari MSDS metanol buat laporan kita nanti” Ferisa mencoba mengalihkan perhatian Inas.
            “iyo yo? Ndang, apa keywordnya?” balas Inas seperti sudah lupa dengan kekesalannya tadi.
            Sesekali, Ferisa menoleh kea rah Jaka. Seperti dugaannya, Jaka sama sekali tidak peduli dengan kemarahan Inas yang disebabkan oleh dia. Lalu, Ferisa mengirimkan pesan via sms ke Jaka.
            “silahkan cuek sesukamu. Tapi tlg, klo tdk tau cara berbicara dengan “manusia”, mending diam saja”
            Nada pesan hape Jaka berbunyi. Jaka langsung membaca pesan dari Ferisa. Tanpa perlu merasa harus membalas pesan tersebut, dia kembali fokus meneruskan bacaan komik manga di laptopnya.
            “Dasar perempuan” gumamnya tak peduli
            Melihat ekspresi Jaka yang berjarak 3 m dari tempatnya, Ferisa angkat tangan!
            “Buh anak ini memang tidak bisa diajak berteman. Semoga aja lain kali sistem pengelompokan kelompok praktikum diubah” ucap Ferisa penuh harap agar semester depan tak lagi sekelompok dengan Jaka
            Mendengar itu, Jaka hanya tersenyum ngece. Bikin Ferisa semakin muak
*************************************
            Tiga hari lagi, deadline pengumpulan laporan praktikum kimia dasar. Ferisa mulai gelisah karena Jaka tak juga mengajaknya mengerjakan laporan. Sedangkan data hasil praktikumnya disimpan oleh Jaka. Kalau Inas sih, nggak peduli, yang penting pas hari H, tuh laporan sudah siap. Inas faham betul, Jaka sudah pasti mengerjakan. Jadi dia gak perlu repot-repot mikir.
            “eh Jak! Kapan mau mengerjakan laporan praktikum kita?” akhirnya Ferisa bertemu dengan Jaka di teras kampus.
            “sudah aku kerjakan!”
            “lho? Kapan? Kok ngajak-ngajak aku?” protes Ferisa
            “ngapain ngajak kamu?!” Tanya Jaka tanpa dosa
            “Heh ngawur! Aku kan juga kelompok praktikum!”
            “sudah deh, yang penting sudah selesai!”
            “Kamu ini seenaknya ya Jak! Aku juga ingin tau!”
            “Ya tinggal kamu baca tuh laporan yang sudah aku garap!”
            “bukan masalah itunya! Kamu ngerti nggak sih artinya kelompok?!”
            “gini ya Fer, aku gak seneng ngerjain laporan secara berkelompok. Kalau aku yang ngerjain, ya biar aku sendiri. Kalian gak usah ikut-ikut. Kalau kalian yang mau ngerjakan, berarti aku yang gak ikut-ikut” urai Jaka
            “asli bikin jengah! Sok pintar!” maki Ferisa. “besok kita ngerjakan sendiri-sendiri. Biar aku berkelompok dengan Inas, laporan yang kamu bikin, cukup tulis saja namamu! Gak sudi aku berdekatan nama dengan kamu!” Ferisa semakin menjadi memaki Jaka. Ini nih alasan Ferisa gak suka berbicara langsung sama Jaka. Bisa langsung emosi.
            Jaka memerhatikan sikap Ferisa, lalu berkata “terserah kamu dah, yang penting aku dapat nilai bagus. Yang lain bukan masalah”
            Gedubrak!
            Merasa sia-sia, Ferisa ngacir, dan berjanji tidak akan pernah menganggapnya sebagai anggota tim. Bahkan tidak untuk sekedar istilah “teman”.
**********************************
Tahun ini sepertinya akan menjadi tahun terakhir buat Jaka dan teman seangkatannya menyandang status mahasiswa S1 kedokteran. Mereka pada sibuk menyiapkan seminar proposal yang merupakan salah satu prosedur untuk menyelesaikan tugas akhir. Dalam seminar proposal ada aturan yang harus dipenuhi. Jika  tidak, maka seminar proposal tugas akhir tidak bisa dimulai. Salah satunya adalah jumlah peserta minimal 10 orang.
“kamu kapan semprop (seminar proposal) nir?” Tanya Inas pada Nirka yang kelihatannya sibuk sama map-map penilaian semprop yang harus diserahkan kepada dosen-dosen yang bertugas
“besok jam 1 siang say, di lantai 3. Datang ya?” jawab Nirka agak cepat karena terburu-buru mau ngejar dosen pembimbingnya
“InsyaAllah, semangat Nir!”
“Sip!!” Nirka mulai menuju dosen pembimbingnya
“oh iya Fer, Jaka kapan ya sempropnya?” Inas mengalihkan perhatiaanya pada Ferisa yang juga sibuk mengurusi revisi-an proposalnya kemaren.
“gak tau naz, Tanya aja langsung ke orangnya” jawab Ferisa sekenanya
“Fer, Jaka nih gak pernah datang pas kita semprop, nah kalau dia semprop terus siapa yang mau datang? Aku ogah!”
“aku juga!”
“Aku apalagi, ogah kuadrat! Sadis bin ngeselin gitu orangnya!” Lina ikutan nimbrung
“iya ya, gak ngurus dia teman kita atau bukan, toh selama ini, dia gak pernah nganggap kita teman. Ngerasa pintar sendiri, sekarang ya biarin dia menyelesaikan masalahnya dengan kepintarannya sendiri! Sepintar apapun, kalau gak ada peserta, jangan harap bakalan bisa semprop! Gak lulus gak lulus bah gak ngurus!” Miranti yang sedari tadi diam mendengarkan, juga ikutan ngomel dengan semangat membara.
Ferisa mengerjabkan kedua matanya, “bagus deh kalo berpikiran sama, biar tau rasa dia!” ujar Ferisa sinis sambil mengingat sudah berkali-kali Jaka membuatnya jengkel.
*********************************************
Hari ini Jaka semprop jam 8 pagi di ruang 1 lantai 3. Para dosen pembimbing dan pengujinya sudah lengkap di kelas. Namun, semprop tidak bisa dimulai, karena peserta yang hadir Cuma 2 orang, adek kelas Jaka yang kebetulan sedang gak ada jadwal kuliah. Sudah lebih dari satu jam dosen-dosen tersebut menunggu di ruang semprop.
“teman-temanmu mana Jaka?” Tanya Pak Wira selaku dosen pembimbing
“ummm,, gak ada pak” Jaka mulai khawatir
“tidak kamu kasi’ tau tah?”
“umm,, nggak pak, saya pikir bakalan ada banyak adek kelas hari ini yang tidak kuliah”
“gimana sih kamu ini, jam 8-an gini ya pasti sedikitlah yang kuliah. Seharusnya kamu sudah woro-woro ke temanmu dari kemaren-kemarennya. Kayak gak punya teman aja kamu??!!” pak Wira keheranan dengan sikap Jaka
“kita tunda saja ya pak sempropnya, sebentar lagi saya mau ngajar” kata buk Indri sang penguji 1
“saya juga ada rapat dengan dekanat pak” kata pak Imron yang merupakan pembimbing 2 sekaligus ketua jurusan.
Jaka ketar ketir, bukan, bukan karena akan ditunda, tapi lebih dari itu..
Kayak gak punya teman aja kamu, kata-kata pak Wira terngiang-ngiang di benaknya.
“Jaka, sempropmu kita tunda! Jadwal selanjutnya menyusul. Besok-besok jangan sampai hal ini terjadi lagi” pak Wira mengingatkan dengan intonasi yang cukup tegas.
“iya pak, mohon maaf” Jaka merasa tidak enak dan malu. “hufth, jadi tidak ada satupun yang peduli padaku?” tanyanya pada dirinya sendiri. “sakinah, dugaanmu benar. Tidak ada yang mau berteman dengan mas-mu ini. Jadi aku memang buruk ya selama ini di mata kalian? hufft” katanya, sekali lagi Jaka berbicara sendiri.