Archive

Archive for 2012

Saat musim mulai tidak disiplin

Saat musim mulai tidak disiplin
      Seakan – akan ingin bercerita
      Bahwa diapun telah menyerah
      Mendapatkan usikan dari para jenius intelektual

Saat musim mulai tidak disiplin
      Seakan – akan ingin berteriak
      Bahwa dia sudah begitu muak
      Dengan orang – orang tamak

Saat musim mulai tidak disiplin
      Seakan – akan ingin berontak
      Bahwa dia telah terampas harga dirinya
Bukan sebagai pewarna hidup, namun tak lebih dari sekedar benda tak berjiwa

Saat musim mulai tidak disiplin
      Seakan – akan ingin pergi dari dunia
      Bahwa kebaikan telah menjadi pembunuhan
      Melenyapkan nyala – nyala kemanusiaan sampai mati

Saat musim mulai tidak disiplin
      Seakan – akan tak kuat
      Bahwa dia telah ikut bergabung
      Dalam kematian yang mengerikan

Saat musim mulai tidak disiplin
      Kebaikan telah berhenti dan mati
      Keindahan telah menjadi tawar dan kering
      Kebahagian telah berganti kepalsuan

Saat musim mulai tidak disiplin
      Pasrah..
      Meramaikan kehancuran dan kebinasaan…

Merindu Rembulan Terbenam di langit keraguan



Memecah sepi seramai kelinglungan di tengah keramaian
Bergerak,, selaras pergerakan yang stagnan
Menepi jarak di tengah jalan

            Seperti kedipan mata yang takjub akan ketidakmengertian
            Mempesonakan diri dalam ranah keremang – remangan pandangan
            Berhenti, kemudian terbang bersama kehampaan

Ketika sudah saatnya mulai merasa
Dan tumpukan tuntutan mulai memberat
Ah, semakin menjadi saja

            Sok tak peduli, terus saja berjalan
            Walau sebenarnya hati masih sanksi dan gengsi

Ketika sudah saatnya menjadi terbiasa..
Bak lakon dalam sinetron
Hanya merupai, tak pernah menjadi utuh
Akhirnya, tertutup oleh keabu – abuan ketidaktahuan

            Jadilah ia lari dalam indahnya kata – kata
            Tak berani untuk bersuara
            Buktinya, tak satupun yang terwujud

Tiba..
Hampir di penghujung jalan lebih dari 2/3 perjalanan
Masih tetap berani dalam rangkaian kata

            Apatah lagi,
            Tak mungkin berhenti menulis
            Hanya.. Ah seandainya malam selalu seindah dan setegar rembulan
            Bukan sekedar bayangan dalam khayalan maupun cerita indah dalam dongeng

Tapi dia benar – benar ada,,
Di sana..
Di lurus telunjuk ini
Di lurus mata ini memandang

            Ah, merindu rembulan terbenam di langit keraguan
            Berharap secercah kehangatannya menyilaukan segala kekacauan akibat ketidakberanian
            Menyinarinya hingga tak berbekas lagi
            Kemudian menghapusnya menjadi pergerakan konkrit yang pasti

Meranalah jalan panjang ini, jika hidup hanya sekedar indah dalam kata
Seperti apa menembusnya? Entahlah..

Khawatir, mengkhawatirkan



Saat kekhawatiran itu mulai semakin menyesaki sempitnya hati
Apa lagi yang bisa ku lakukan?
Saat kekhawatiran itu berbuah harapan
Bagaimana aku bisa menghapusnya?

Aku mengkhawatirkanmu di saat aku juga mengkhawatirkan diriku sendiri
Aku hampir rapuh memikirkannya
Khawatir seakan – akan kau memanglah arjuna yang dikirimkan tuhan untukku
Aku bahkan tahu, bahwa semut merah itupun ikut mengejek persepsi ini

Aku mengkhawatirkanmu di saat aku hanya bisa menebak tanpa jawaban yang sudah pasti benar
Aku hampir kosong dengan sibuknya hatiku
Aku khawatir seakan – akan kau memang pantas dikhawatirkan
Aku juga bahkan melihat sinisnya malam saat melirikku dengan tebakan ini

Aku mengkhawatirkanmu dalam ketidakmengertianku akan keadaanmu
Aku hampir lelah mencoba mencari tahu tanpa satupun petunjuk
Aku khawatir seakan – akan aku adalah milik satu – satumu di dunia
Bahkan dengan sangat jelas aku melihat mentari memalingkan sinarnya dariku dengan kebodohan ini.

Aku mengerti catatan hatiku, aku mengerti petunjuk di hatiku,
Tapi aku tetap saja mengkhawatirkanmu.
Hampir rapuh, hampir kosong, hampir lelah..
Namun itu tak pernah sampai ke ujung rasanya.
Selalu ada jarak yang memisahkan aku dengan ujung kerapuhan, dengan ujung kekosongan, juga dengan ujung kelelahan…
Jarak itu benar – benar padat diisi oleh sibuknya hatiku melihat senyumanmu
Itu kenapa, khawatir ini tak pernah berujung.
Khawatir akan kamu,
Kekhawatiran untukmu,
Tak peduli, seberapa banyak aku mengerti..

Sisi - Sisi Penilaian Kuantitatif



Institusi pendidikan adalah lembaga yang mewadahi suatu proses pembelajaran. Keberhasilan lembaga pendidikan dalam mendidik anak didiknya dapat diketahui dari angka sebagai indikator kuantitatif. Digunakannya indikator kuantitatif bertujuan untuk memberikan pemahaman yang sama, karena menggunakan angka, bisa dibaca dengan jelas, pasti. Beda halnya dengan penilaian kualitatif, penilaian ini dapat memberikan asumsi yang berbeda dari masing – masing orang sesuai dengan sudut pandang masing – masing sehingga ukuran keberhasilan tidak dapat diketahui/terukur secara pasti. Juga berlaku untuk anak didik. Keberhasilan mereka dapat dilihat dari angka yang diperoleh dari hasil ujian.
Angka tersebut menjadi penentu apakah anak didik tersebut berhasil, sedikit berhasil, atau gagal dalam suatu mata pelajaran. Semakin besar angkanya, kita sebut IPK (indeks prestatsi kumulatif), maka dapat diasumsikan bahwa tingkat kepinteran/kedisiplinan/kecerdasan/ anak didik tersebut juga semakin baik. Begitu juga sebaliknya. Sehingga akan menjadi sangat wajar jika anak didik tergila – gila pada angka atau nilai IPK.
Sistem pengukuran yang seperti ini memiliki dua sisi yang berlainan yaitu sisi negatif dan sisi positif. Positifnya, anak didik menjadi terpacu untuk berusaha keras dan nilai dapat menjadi koreksi kemampuan bagi anak didik, sedangkan nilai yang tinggi dapat menjadi kebanggaan buat seseorang atas keberhasilannya. Negatifnya, jika sisi positif tidak tercapai, maka yang akan terjadi adalah ketergantungan mereka pada nilai, hal ini dapat menyebabkan banyak keburukan, seperti stress pada anak – anak yang rajin, namun tidak beruntung saat ujian. Selain itu bagi yang malas, bisa melakukan kecurangan dalam ujian. Sehingga tujuan pendidikan yang sebenarnya menjadi tidak tercapai.
Stress dan kecurangan bisa dipicu oleh beberapa faktor baik dari sang guru, anggapan masyarakat, maupun anak didik itu sendiri.
1.     Sang dosen
Kurangnya perhatian dan apresiasi dari dosen bagi anak didik yang giat belajar namun nilai ujiannya kecil memberi suatu anggapan yang buruk bagi anak didik. Anak didik akan berpikir bahwa proses tidaklah penting, yang penting itu adalah nilai akhir. Hal ini akan memicu mereka yang malas untuk melakukan kecurangan dalam ujian seperti “nyontek”. Sedangkan bagi si rajin yang kurang beruntung, hal ini akan menjadi suatu ketidakadilan buat dia. Ini menjadi koreksi buat dosen untuk lebih perhatian lagi pada proses yang dilakukan oleh anak didik. Jikapun hasilnya tetap kecil, dosen harus mampu memberikan pemahaman pada anak didik akan status “nilai” yang sebenarnya. Seharusnya pemberian pemahaman harus dilakukan dari awal dan setiap sikap dosen juga harus menunjukkan bahwa yang beliau inginkan adalah anak yang “benar – benar berhasil dan mau berusaha keras” bukan “anak yang berhasil katanya dan pemalas”
2.     Anggapan masyarakat
Anggapan masyarakat secara umum yang secara buta hanya melihat pada angka IPK di ijazah membuat anak didik semakin berpikir bahwa nilai adalah segalanya, tak peduli prosesnya bagaimana.
3.     Anak didik
Kesalahan terbesar jelas ada pada diri anak didik sendiri. Bagaimanapun anak didiklah yang paling bertanggung jawab atas dirinya. Cukup wajar jika lembaga memberikan penilaian secara kuantitaif, karena kalau secara kualitatif tentunya akan sangat sulit sekali proses penilaiannya. Anak didik harus mampu memahami dan membaca setiap proses pembelajaran bersama dosen mengenai tujuan apa yang sebenarnya harus dicapai, bukan hanya tujuan ketuntasan mata pelajaran, namun juga pesan – pesan moral yang diberikan oleh dosen baik secara sikap maupun lisan. Bagaimana caranya mampu dalam memahami pelajaran? Belajar, memperhatikan, dan berdo’a. Bagaimana caranya mampu membaca pesan – pesan moral dosen? Tinjau niat awalmu masuk kuliah, Perhatikan sikap dosen dan sering berkomunikasi dengan dosen. Walaupun sebagian kecil dosen hanya menyampaikan materi pelajaran dan sebagian lagi malah menunjukkan sikap negatif dan sama dengan anggapan masyarakat umum, namun tak sedikit dosen yang mempunyai sikap dan niat yang baik.
Pada dasarnya, pokok dari tujuan pembelajaran adalah dalam diri kita sendiri bukan nilai yang tertera dalam ijazah. Nilai IPK di ijazah bukanlah satu – satunya indikator keberhasilan kita, Indikator terpenting adalah seberapa besar kita bisa mengamalkan ilmu yang kita peroleh, seberapa besar kita berhasil dalam memberikan konstribusi pada masyarakat baik melalui bidang ilmu kita maupun softskill yang kita peroleh selama proses pembelajaran di kampus.
Sebagian orang bisa saja kesulitan dalam tes tulis, namun bisa jadi mereka sebenarnya faham. Sebagian orang pinter dalam tes tulis, namun hanya sesaat karena pinternya diperoleh dari belajar kebut semalam. Sebagian orang emang canggih dalam tes tulis, tapi hanya mengerti dan menulis saja tanpa bisa mempraktekkan secara real. Sebagian yang lain lulus tes tapi sebenarnya tidak faham, bisa karena faktor keberuntungan atau bisa kecurangan. Namun tidak menutup kemungkinan sebagian yang lain lagi lulus tes tulis yang faham luar dalam sehingga praktek-pun juga mudah.
Nah, kita masuk dalam jenis anak didik yang mana? Semoga kita bukan termasuk orang yang membohongi diri kita dan orang lain dengan kedok nilai IPK yang cukup tinggi. Kalaupun sekarang iya, semoga diberi hidayah dan kembali kepada proses pembelajaran yang sebenarnya.

**Salam Anak Muda Indonesia!