Institusi pendidikan
adalah lembaga yang mewadahi suatu proses pembelajaran. Keberhasilan lembaga
pendidikan dalam mendidik anak didiknya dapat diketahui dari angka sebagai indikator
kuantitatif. Digunakannya indikator kuantitatif bertujuan untuk memberikan
pemahaman yang sama, karena menggunakan angka, bisa dibaca dengan jelas, pasti.
Beda halnya dengan penilaian kualitatif, penilaian ini dapat memberikan asumsi
yang berbeda dari masing – masing orang sesuai dengan sudut pandang masing –
masing sehingga ukuran keberhasilan tidak dapat diketahui/terukur secara pasti.
Juga berlaku untuk anak didik. Keberhasilan mereka dapat dilihat dari angka
yang diperoleh dari hasil ujian.
Angka tersebut
menjadi penentu apakah anak didik tersebut berhasil, sedikit berhasil, atau
gagal dalam suatu mata pelajaran. Semakin besar angkanya, kita sebut IPK
(indeks prestatsi kumulatif), maka dapat diasumsikan bahwa tingkat
kepinteran/kedisiplinan/kecerdasan/ anak didik tersebut juga semakin baik. Begitu
juga sebaliknya. Sehingga akan menjadi sangat wajar jika anak didik tergila –
gila pada angka atau nilai IPK.
Sistem pengukuran
yang seperti ini memiliki dua sisi yang berlainan yaitu sisi negatif dan sisi
positif. Positifnya, anak didik menjadi terpacu untuk berusaha keras dan nilai
dapat menjadi koreksi kemampuan bagi anak didik, sedangkan nilai yang tinggi
dapat menjadi kebanggaan buat seseorang atas keberhasilannya. Negatifnya, jika
sisi positif tidak tercapai, maka yang akan terjadi adalah ketergantungan
mereka pada nilai, hal ini dapat menyebabkan banyak keburukan, seperti stress
pada anak – anak yang rajin, namun tidak beruntung saat ujian. Selain itu bagi
yang malas, bisa melakukan kecurangan dalam ujian. Sehingga tujuan pendidikan
yang sebenarnya menjadi tidak tercapai.
Stress dan
kecurangan bisa dipicu oleh beberapa faktor baik dari sang guru, anggapan
masyarakat, maupun anak didik itu sendiri.
1.
Sang dosen
Kurangnya perhatian dan
apresiasi dari dosen bagi anak didik yang giat belajar namun nilai ujiannya
kecil memberi suatu anggapan yang buruk bagi anak didik. Anak didik akan
berpikir bahwa proses tidaklah penting, yang penting itu adalah nilai akhir. Hal
ini akan memicu mereka yang malas untuk melakukan kecurangan dalam ujian
seperti “nyontek”. Sedangkan bagi si rajin yang kurang beruntung, hal ini akan
menjadi suatu ketidakadilan buat dia. Ini menjadi koreksi buat dosen untuk
lebih perhatian lagi pada proses yang dilakukan oleh anak didik. Jikapun hasilnya
tetap kecil, dosen harus mampu memberikan pemahaman pada anak didik akan status
“nilai” yang sebenarnya. Seharusnya pemberian pemahaman harus dilakukan dari
awal dan setiap sikap dosen juga harus menunjukkan bahwa yang beliau inginkan
adalah anak yang “benar – benar berhasil dan mau berusaha keras” bukan “anak
yang berhasil katanya dan pemalas”
2.
Anggapan masyarakat
Anggapan masyarakat
secara umum yang secara buta hanya melihat pada angka IPK di ijazah membuat
anak didik semakin berpikir bahwa nilai adalah segalanya, tak peduli prosesnya
bagaimana.
3.
Anak didik
Kesalahan terbesar jelas ada pada
diri anak didik sendiri. Bagaimanapun anak didiklah yang paling bertanggung
jawab atas dirinya. Cukup wajar jika lembaga memberikan penilaian secara
kuantitaif, karena kalau secara kualitatif tentunya akan sangat sulit sekali
proses penilaiannya. Anak didik harus mampu memahami dan membaca setiap proses
pembelajaran bersama dosen mengenai tujuan apa yang sebenarnya harus dicapai,
bukan hanya tujuan ketuntasan mata pelajaran, namun juga pesan – pesan moral
yang diberikan oleh dosen baik secara sikap maupun lisan. Bagaimana caranya
mampu dalam memahami pelajaran? Belajar, memperhatikan, dan berdo’a. Bagaimana caranya
mampu membaca pesan – pesan moral dosen? Tinjau niat awalmu masuk kuliah, Perhatikan
sikap dosen dan sering berkomunikasi dengan dosen. Walaupun sebagian kecil
dosen hanya menyampaikan materi pelajaran dan sebagian lagi malah menunjukkan
sikap negatif dan sama dengan anggapan masyarakat umum, namun tak sedikit dosen
yang mempunyai sikap dan niat yang baik.
Pada dasarnya,
pokok dari tujuan pembelajaran adalah dalam diri kita sendiri bukan nilai yang
tertera dalam ijazah. Nilai IPK di ijazah bukanlah satu – satunya indikator keberhasilan
kita, Indikator terpenting adalah seberapa besar kita bisa mengamalkan ilmu
yang kita peroleh, seberapa besar kita berhasil dalam memberikan konstribusi
pada masyarakat baik melalui bidang ilmu kita maupun softskill yang kita
peroleh selama proses pembelajaran di kampus.
Sebagian orang
bisa saja kesulitan dalam tes tulis, namun bisa jadi mereka sebenarnya faham. Sebagian
orang pinter dalam tes tulis, namun hanya sesaat karena pinternya diperoleh
dari belajar kebut semalam. Sebagian orang emang canggih dalam tes tulis, tapi
hanya mengerti dan menulis saja tanpa bisa mempraktekkan secara real. Sebagian
yang lain lulus tes tapi sebenarnya tidak faham, bisa karena faktor keberuntungan
atau bisa kecurangan. Namun tidak menutup kemungkinan sebagian yang lain lagi lulus
tes tulis yang faham luar dalam sehingga praktek-pun juga mudah.
Nah, kita
masuk dalam jenis anak didik yang mana? Semoga kita bukan termasuk orang yang
membohongi diri kita dan orang lain dengan kedok nilai IPK yang cukup tinggi. Kalaupun
sekarang iya, semoga diberi hidayah dan kembali kepada proses pembelajaran yang
sebenarnya.
**Salam
Anak Muda Indonesia!