Tak semua cerita
masa kecil bisa kuingat. Namun, beberapa potongan memory melekat kuat dalam
otakku sampai sekarang. Potongan-potongan yang tak terbentuk, seperti
pertanyaan-pertanyaan di benakku yang tak pernah kulontarkan pada siapapun,
pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya aku coba fahami dalam perjalanan umurku,
yang baru kusadari beberapa tahun terakhir ini.
Berawal dari
suatu permainan petak umpet dengan teman-temanku di desa sumberan. Kala itu,
aku menjadi orang yang dicari. Dengan gaun putri-putrian-ku mungkin, dengan
rambut terkepang dua mungkin, dan tanpa alas kaki, aku bersembunyi di samping
rumah pamanku. Siang itu, di antara dedauanan pohon mangga, langit Nampak begitu
cerah. Birunya terang sekali, beberapa bentuk awan menghiasi birunya langit.
Dalam persembunyianku, aku mendongakkan kepala ke atas, menikmati lukisan yang
begitu hidup di langit. Aku suka dekorasi langit kala itu. Beberapa kumpulan
awan bergeser berganti posisi. Mungkin saat itu juga tiba-tiba ada pertanyaan
dalam hatiku. Meskipun tak cukup yakin dengan setting waktu dan tempatnya, tapi
pertanyaan itu masih yakin kuingat.
“Siapa yang
paling berkuasa di dunia ini, manusia-kah?”
“Tapi manusia
pada akhirnya terus bergantian, apakah pergantian ini akan terus terjadi?”
“Mungkinkah
suatu saat, manusia mati semuanya?”
“Lalu, siapa
nanti yang akan berkuasa di dunia?”
“Dan,
sebenarnya, ke mana manusia yang mati itu?”
“Atau, mereka
nanti akan kembali lagi ke dunia?”
“Kalau iya,
apakah kehidupan di dunia akan sama dengan yang sebelumnya?”
Tidak lama,
pertanyaan itu segera membeku di otakku, tak lagi kupikirkan. Mungkin saat itu
aku segera mengalahkan lagi temanku yang sedang menjadi seseorang yang mencari.
Tak lagi kuingat, yang jelas, aku hampir selalu menang dalam setiap permainan.
Bisa dibilang aku top dalam strategi mengalahkan musuh.
Laa ilaa ha
illallaah.. Tiada tuhan selain Allah. Potongan episode lain masih membekas di
otakku. Dari cerita Ibrahim di masjid sekolah, pelan-pelan kulangkahkan kakiku
menuju rumah. Masih sore kala itu, dengan tas plastik di lengan kananku dan
gaun putih selutut dengan kerudung pendek CTS, mengikuti arah jalannya langit
yang seakan-akan mengikutiku, otakku sadar berfantasi, tentang kesamaan aku dan
Ibrahim yang bertanya dan mencari, meskipun prosesnya sama sekali tak sama.
Jadi, Allah-lah
tuhanku. Tanpa kusadari bahwa itu adalah jawaban dari pertanyaan yang pernah
membeku itu. selanjutnya, aku menjalani hidup sesuai usiaku di jaman sekarang,
jelas tak sama dengan Ibrahim yang begitu serius dan fokus dengan gejolak di
hatinya tentang sang pencipta, karena aku segera melupakannya sesaat setelah
hatiku membatin tentang hal yang menurutku cukup misterius kala itu, bersambut
dengan masa kanak-kanak yang sangat kanak-kanak, dan perjalanan hidup itu terus
berlanjut linier dengan usiaku. Linieritas ini, biar kujelaskan dalam episode
yang lain dalam awan huruf musafir ini.
Adakah ini
serupa dengan yang kalian alami saat kalian masih belum menanggung dosa,
teman-teman?
Kalau iya, mungkinkah
kita semua sama?
Inikah salah
satu fitrah lain dari kehidupan manusia setelah lama ia berikrar tentang
tuhannya di alam sebelum dunia?
Ah.. J